Sebab dan Penghalang Mendapat Warisan
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
”Fiqih Mawaris”
Disusun Oleh:
Donni Lailatul
Masruroh (210214201)
Fahrurrozaki (210214176)
Farid Darmawan (210214182)
Kelas: SMG
Dosen Pengampu:
Muhsin
PRODI MUAMALAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015
A.
Hukum
Waris
Hukum
Waris ini adalah Fardhu kifayah, apabila sudah ada orang yang cukup untuk
melaksanakannya, maka sunnah hukumnya bagi yang lain.[1]
B.
Syarat Waris
Syarat-syarat
warisan ada 3 yaitu :
1.
Pewarin
telah benar benar meninggal, atau dengan keputusan hakim yang menyatakan
pewaris telah meninggal, hal ini bisa terjadi, seperti seseorang tawanan dalam
perang atau orang hilang.
2.
Ahli
waris benar benar dalam keadaan hidup ketika dalam pembagian harta waris, atau
dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup.
3.
Diketahui
dengan jelas garis kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris
C.
Sebab
sebab memperoleh warisan
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan yaitu:
1.
Hubungan
nasab atau keturunan
Yaitu
hubungan tali persaudaraan antara dua orang manusia melalui hasil keturunan
baik yang dekat ataupun jauh.[2]
Contohnya adalah ayah, ibu, anak, cucu, dan lain lain
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian
berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu
(juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
2.
Pernikahan
Yaitu
terjadi suatu akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki laki dan
perempuan. Dengan sebab akad tersebut suami mewarisi harta si istri dan
sebaliknya, walaupun belum pernah melakukan hubungan badan. Hal ini berdasarkan
firman Allah.[3]
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& ...
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu . . .”
3.
Wala’
Artinya
memerdekakan. Yaitu kenikmatan membebaskan budak yang dilakukan seorang. Dalam
hal ini seorang yang membebaskan mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan). Orsng yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan
dan jati diri seorang sebagai manusia. Oleh karena itu Allah SWT menganugrahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan bila budak itu tidak
memiliki ahli waris yang hakiki, baik karena kekerabatan (nasab) ataupun
pertalian darah.[4]
Seperti
hadist riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
إِنَّمَا لُوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
Artinya:
“Sesungguhnya wala’ itu milik orang yang memerdekakannya”.[5]
D.
Penghalang
bagi seseorang mendapatkan harta warisan
Bila
terdapat sebab pewarisan, yaitu hubungan kekerabatan, pernikahan dan wala’,
pewaris tidak serta merta dapat terwujud karena boleh jadi ada penghalang yang
menghalangi pewarisan. Jadi pewarisan dapat terwujud jika ada sebab dan tidak
ada penghalang.[6]
Beberapa
hal yang menjadi penghalang mendapatkan warisan yaitu:
1.
Penghambaan/
perbudakan
Sebuah
sifat dimana dengannya seseorang dapat dimiliki, dijual, dihibahkan, diwarisi
sebagai harta, dan diatur tuannya. Ia sendiri tidak dapat mengatur dirinya
secara independen (merdeka atau bebas).
Sabda
Nabi SAW:
مَنْ بَاعَ عَبْدًا لَهُ مَالٌ فَمَا لُهُ لِلبَا ئِعِ إِلاَّ أَنْ
يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
Artinya:
“Barang siapa menjual seorang hamba sahaya, maka harta hamba sahaya tersebut
menjadi milik si penjual kecuali jika si pembeli mensyaratkannya”.[7]
Tetapi
dijaman sekarang ini pembahasan mengenai budak kiranya tidak perlu diperpanjang
karena perbudakan telah lama dihapus.[8]
2.
Pembunuhan
Pembunuhan
menghalangi menerima harta warisan adalah pembunuhan dengan alasan yang tidak
benar. Yaitu jika ahli waris membunuh pewaris, ia tidak mendapatkan harta
warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنْ تِرْكَةِ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً
Artinya:
“Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
Sangat
beralasan apabila pembunuh tidak berhak atas harta yang ditinggalkan oleh orang
yang dibunuhnya. Apalagi jika ia membunuh dengan tujuan karena ingin cepat
mendapatkan harta warisan.
Kaitannya
dengan hal tersebut, adalah kaidah fiqhiyah berikut ini:
مَنْ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْ قِبَ بِحْرِ مَانِهِ
Artinya: “Barang siapa ingin mempercepat mendapatkan seseuat
sebelum waktunya maka ia dikenakan sanksi tidak boleh mendapatkannya”. (Ash-Shabuni,
1995:51).[9]
3.
Perbedaan
Keyakinan/ Agama
Yaitu
yang satu memeluk suatu agama dan yang lain memeluk agama yang berbeda.
Misalnya dengan yang satu muslim dan yang satu lagi adalah kafir.[10]
Maksudnya disini yaitu jika yang meninggal orang muslim, sedangkan ahli
warisnya bukan muslim maka ahli warisnya tidak berhak menerima warisan.
Rasulullah
SAW bersabda:
لَا يَرِ ثُ اْلُسْلِمُ الْكَا فِرَ وَلاَ اْلكَا فِرُ اْلمسْلِمَ
Artinya: “Orang islam tidak mendapatkan warisan dari orang
kafir, dan orang kafir tidak mendapathkan warisan dari orang islam”.[11]
Kesimpulan
1.
Hukum
Waris ini adalah Fardhu kifayah, apabila sudah ada orang yang cukup untuk
melaksanakannya, maka sunnah hukumnya bagi yang lain.
2.
Syarat-syarat
waris yaitu :
a.
Pewarin
telah benar benar meninggal,
b.
Ahli
waris benar benar dalam keadaan hidup ketika dalam pembagian harta waris, atau
dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup.
c.
Diketahui
dengan jelas garis kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris
3.
Sebab
sebab memperoleh warisan
a.
Hubungan
nasab atau keturunan
b.
Pernikahan
c.
Wala’
4.
Penghalang
bagi seseorang mendapatkan harta warisan
a.
Penghambaan/
perbudakan
b.
Pembunuhan
c.
Perbedaan
Keyakinan/ Agama
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin. 2003. Panduan Praktis Hukum Waris Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir.
Beni
Ahmad Saebani. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Imam
Ja’far Shadiq. 2001. Hukum Waris. Jakarta: PT Lentera Baristama
Abdul
Ghofur Anshori. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta
[1] Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris (Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir. 2012), 15
[2] Ibid.,31
[3] Beni Ahmad
Saebani, Fiqh Mawaris (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009), 109
[4] Ibid., 110
[5] Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, 31
[6] Imam Ja’far
Shadiq, Hukum Waris (Jakarta: PT Lentera Baristama. 2001), 81
[7] Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, 39
[8] Abdul Ghofur
Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta. 2005), 37
[9] Beni Ahmad
Saebani, 115
[10] Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin,41
[11] Beni Ahmad
Saebani, 117

Tidak ada komentar:
Posting Komentar