Jumat, 11 Maret 2016

Sebab dan Penghalang Mendapat Warisan



Sebab dan Penghalang Mendapat Warisan
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
”Fiqih Mawaris”






Disusun Oleh:
Donni Lailatul Masruroh                     (210214201)
Fahrurrozaki                                        (210214176)
Farid Darmawan                                 (210214182)


Kelas: SMG

Dosen Pengampu:
Muhsin

PRODI MUAMALAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015

A.      Hukum Waris
Hukum Waris ini adalah Fardhu kifayah, apabila sudah ada orang yang cukup untuk melaksanakannya, maka sunnah hukumnya bagi yang lain.[1]
B.        Syarat Waris
Syarat-syarat warisan ada 3 yaitu :
1.      Pewarin telah benar benar meninggal, atau dengan keputusan hakim yang menyatakan pewaris telah meninggal, hal ini bisa terjadi, seperti seseorang tawanan dalam perang atau orang hilang.
2.      Ahli waris benar benar dalam keadaan hidup ketika dalam pembagian harta waris, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup.
3.      Diketahui dengan jelas garis kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris
C.       Sebab sebab memperoleh warisan
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan yaitu:
1.      Hubungan nasab atau keturunan
Yaitu hubungan tali persaudaraan antara dua orang manusia melalui hasil keturunan baik yang dekat ataupun jauh.[2] Contohnya adalah ayah, ibu, anak, cucu, dan lain lain
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sù óOä3ZÏB 4
 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ  
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
2.      Pernikahan
Yaitu terjadi suatu akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki laki dan perempuan. Dengan sebab akad tersebut suami mewarisi harta si istri dan sebaliknya, walaupun belum pernah melakukan hubungan badan. Hal ini berdasarkan firman Allah.[3]
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& ...
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu . . .”
3.      Wala’
Artinya memerdekakan. Yaitu kenikmatan membebaskan budak yang dilakukan seorang. Dalam hal ini seorang yang membebaskan mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan). Orsng yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seorang sebagai manusia. Oleh karena itu Allah SWT menganugrahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik karena kekerabatan (nasab) ataupun pertalian darah.[4]
Seperti hadist riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:
إِنَّمَا لُوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.
Artinya: “Sesungguhnya wala’ itu milik orang yang memerdekakannya”.[5]
D.      Penghalang bagi seseorang mendapatkan harta warisan
Bila terdapat sebab pewarisan, yaitu hubungan kekerabatan, pernikahan dan wala’, pewaris tidak serta merta dapat terwujud karena boleh jadi ada penghalang yang menghalangi pewarisan. Jadi pewarisan dapat terwujud jika ada sebab dan tidak ada penghalang.[6]
Beberapa hal yang menjadi penghalang mendapatkan warisan yaitu:
1.      Penghambaan/ perbudakan
Sebuah sifat dimana dengannya seseorang dapat dimiliki, dijual, dihibahkan, diwarisi sebagai harta, dan diatur tuannya. Ia sendiri tidak dapat mengatur dirinya secara independen (merdeka atau bebas).
Sabda Nabi SAW:
مَنْ بَاعَ عَبْدًا لَهُ مَالٌ فَمَا لُهُ لِلبَا ئِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
Artinya: “Barang siapa menjual seorang hamba sahaya, maka harta hamba sahaya tersebut menjadi milik si penjual kecuali jika si pembeli mensyaratkannya”.[7]
Tetapi dijaman sekarang ini pembahasan mengenai budak kiranya tidak perlu diperpanjang karena perbudakan telah lama dihapus.[8]
2.      Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi menerima harta warisan adalah pembunuhan dengan alasan yang tidak benar. Yaitu jika ahli waris membunuh pewaris, ia tidak mendapatkan harta warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنْ تِرْكَةِ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
Sangat beralasan apabila pembunuh tidak berhak atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuhnya. Apalagi jika ia membunuh dengan tujuan karena ingin cepat mendapatkan harta warisan.
Kaitannya dengan hal tersebut, adalah kaidah fiqhiyah berikut ini:
مَنْ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْ قِبَ بِحْرِ مَانِهِ
Artinya: “Barang siapa ingin mempercepat mendapatkan seseuat sebelum waktunya maka ia dikenakan sanksi tidak boleh mendapatkannya”. (Ash-Shabuni, 1995:51).[9]
3.      Perbedaan Keyakinan/ Agama
Yaitu yang satu memeluk suatu agama dan yang lain memeluk agama yang berbeda. Misalnya dengan yang satu muslim dan yang satu lagi adalah kafir.[10] Maksudnya disini yaitu jika yang meninggal orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim maka ahli warisnya tidak berhak menerima warisan.
Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَرِ ثُ اْلُسْلِمُ الْكَا فِرَ وَلاَ اْلكَا فِرُ اْلمسْلِمَ
Artinya: “Orang islam tidak mendapatkan warisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak mendapathkan warisan dari orang islam”.[11]


Kesimpulan
1.      Hukum Waris ini adalah Fardhu kifayah, apabila sudah ada orang yang cukup untuk melaksanakannya, maka sunnah hukumnya bagi yang lain.
2.      Syarat-syarat waris  yaitu :
a.       Pewarin telah benar benar meninggal,
b.      Ahli waris benar benar dalam keadaan hidup ketika dalam pembagian harta waris, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup.
c.       Diketahui dengan jelas garis kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris
3.      Sebab sebab memperoleh warisan
a.       Hubungan nasab atau keturunan
b.      Pernikahan
c.       Wala’
4.      Penghalang bagi seseorang mendapatkan harta warisan
a.       Penghambaan/ perbudakan
b.      Pembunuhan
c.       Perbedaan Keyakinan/ Agama


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. 2003. Panduan Praktis Hukum Waris Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Beni Ahmad Saebani. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Imam Ja’far Shadiq. 2001. Hukum Waris. Jakarta: PT Lentera Baristama
Abdul Ghofur Anshori. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta



[1] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2012), 15
[2] Ibid.,31
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009), 109
[4] Ibid., 110
[5] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 31
[6] Imam Ja’far Shadiq, Hukum Waris (Jakarta: PT Lentera Baristama. 2001), 81
[7] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 39
[8] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta. 2005), 37
[9] Beni Ahmad Saebani, 115
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,41
[11] Beni Ahmad Saebani, 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar