Jumat, 11 Maret 2016

PERIODE ATBA’ AL FUQAHA (MASA KEEMASAN)



PERIODE ATBA’ AL FUQAHA
(MASA KEEMASAN)
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
”Tarikh Tasyri”



Disusun Oleh:
1.     Donni Lailatul Masruroh         (210214201)
2.     Fahrurrozaki                            (210214176)
3.     Farid Darmawan                     (210214182)

Kelas: SMG
Dosen Pengampu:
Imroatul Munfaridah, M.S.I

PRODI MUAMALAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Terbentuknya hukum Islam di masa Tabi’in. Di periode ini muncul imam imam Mujtahidin. Di periode ini juga terdapat gerakan atau usaha untuk membukukan serta menulis hukum hukum Islam, pada masa ini mengalami kemujan yang sangat pesat. Dibukukanlah as Sunnah, fatwa fatwa dari kalangan sahabat , Tabi’in serta Tabi’ut Tabi’in termasuk pula berbagai komentar secara mendalam terhadap tafsir Al Quran dan lainnya.
B.     Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1.      Agar mahasiswa lebih mampu mengetahui periode keemasan
2.      Agar mahasiswa memahami mengenai pembukuan terhadap sumber hukum Islam
3.      Agar mahasiswa mengetahui pekembangan sosial pada Periode ini
4.      Agara mahasiswa mengetahui mengenai Mazhab dan Dasar Fiqh yang dipakai setiap Mazhabnya.
C.     Rumusan Masalah
1.      Pengantar
2.      Perkembangan Sosial pada Periode Keemasan
3.      Kodifikasi atau pembukuan
4.      Mazhab beserta Dasaf Fiqh yang dipakai


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengantar
Tasyri’ pada masa periode Tabi’in ini dimulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih pada periode ini berjalan sekitar 200 tahun. Fase ini dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab.
Periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang undangan umat islam. Hukum Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat, Pemerintahan Islam kaya dengan berbagai undang undang dan hukum hukum.[1]
B.     Perkembangan sosial pada masa ini
Pertumbuhan hukum Islam pada masa ini telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa ini bisa disebut dengan masa keemasan bagi umat Islam. Perkembanagan sosia pada masa ini antara lain ;
1.      Kekuasaan islam telah mengalami perluasan
Pemerintahan pada masa ini mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat, sehingga wilayah kekuasaannya sudah meliputi berbagai macam bangsa yang beraneka ragam jenisnya, adat istiadatnya, aneka hubungan kerjanya serta kemaslahatannya.
2.      Para ulama mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam
Para tabi’in pada periode ini telah mengetahui bahwa jalan perundang-undangan sudah terbentang. Sementara kesulitan-kesulitan hukum sudh bisa diatasi dengan mudah. Hal ini disebabkan mereka telah memperoleh sumber perundang-undangan yang berada di tangan mereka.
Al-Qur’an telah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat islam tertentu dan dikalangan orang-orang awam.


3.      Umat Islam dalam periode ini kuat sekali menjaga diri
Pengetahuan dan kemantapan iman umat Islam pada masa ini telah semakin kuat, mereka senantiasa mengembalikan semua persoalan persoalan yang bersifat umum dan detail kepada ahli hukum Islam. Untuk itu para mujtahid pada masa itu menjadi tempat bertanya dan tidak henti hentinya pada pendatang mendatangi mereka, baik dari kalangan perorangan, para penguasa negara dan para hakim.
4.      Munculnya imam mazhab yang ikut menegakkan ajaran Islam
Lahirnya para tokoh dari masyarakat yang juga ikut berjuang dalam mempertahankan nilai nilai syariat Islam. Semisal Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Hambali.[2]
C.     Kodifikasi
1.      As-Sunnah
Sumber perundang undangan yang kedua yaitu As Sunnah, pada permulaan periode ini timbullah sesuatu yang menimpa dengan tiba tiba dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perundang undangan . hal ini terjadi karena kholifah Umar Ibn Abdul Aziz pada permulaan pemerintahan berkirim surat kepada Gurbenur Madinah Abi Bakar Muhammad ibn Umar ibn Hazm (supaya meneliti hadist yang ada dimadinah) dan membukukannya yang antara lain berisi seperti ini
“ Hendaknya engkau perhatikan hadist Rasulullah yang ada, lalu tulislah ia sebab aku khawatir akan hapusnya ilmu dan hilang lenyapnya para ulama”
Dengan ini dimulailah pembukuan nash nash sumber perundang undangan yang kedua sesudah abad pertama Hijrah, tempat kembalinya nash tersebut masih berada dalam dada perowi dan para penghafal As-Sunnah saja. Kemudian pembukuan hadist secara ini diikuti kebanyakan ulama’.[3]
2.      Fiqh
Fiqh baru muncul pada periode tabi’ tabi’in pad abad kedua Hijriyah, dengan munculnya beberapa Mujtahid di beberapa kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum hukum syariah.
Pada periode ini di Irak muncul seorang mujtahid besar yag bernama Abu Hanifah yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqh, tetapi ilmu fiqh ini belum dibukukan. Sementara itu di Madinah muncul juga mujtahid besar yang bernama Malik yang memformulasikan Fiqh dan membukukannya.[4]
Dalam pembukuannya mereka melakukan Gerakan Ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan seluruh kemampuan dan pikiran untuk memahami ketentuan ketentuan hukum Islam yang tercantum dalam ayat ayat hukum di Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad dan merumuskan menjadi beberapa garis hukum yang mengatur segala bidang hidup dan kehidupan manusia.[5]
3.      Ushul Fiqh
Metode dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh adalah mengeluarkan kaidah kaidah fiqh setiap babnya, munaqhasasnya, dan penerapannya dalam furu’, baru kemudian diambil suatu konklusi sebagai kaidah umum.[6]
D.    Mazhab dan Dasar Fiqhnya
1.      Imam Abu Hanifah (81- 150H/ 700-767 M)
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 81 H dan meninggal pada tahun 150 H. Abu Hanifah lahir dengan nama An Nu’man bin Tsabit bin Zauthi.[7]
Abu Hanifah merupakan nama yang diberikan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kufah, karena ketekunannya dalam beribadah, kejujurannya, serta kecenderungannya pada kebenaran.
Dasar Fiqh Beliau:
a.       Al- Quran merupakan sumber segala ketentuan syariah yang dijadikan rujukan dalam proses analogi terhadap berbagai metode kajian hukum yang dirumuskan.
b.      Al Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al Quran yang berperan sebagai penjelas terhadap berbagai ketentuan hukum dari Al Quran yang masih belum jelas maksudnya.
c.       Pendapat sahabat memperoleh posisi yang kuat, karena mereka adalah orang orang yang membawa ajaran nabi Muhammad SAW kepada generasi sesudahnya.
d.      Qiyas dilakukan apabila Al Quran dan Sunnah tidak menyatakan secara emplisit mengenai ketentuan hukum bagi persoalan persoalan yang dihadapinya.
e.       Istisan diajukan jika hasil dari Qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan sosial dilihat dari sisi kebaikan umumnya.[8]
2.      Imam Malik (93-179 H/ 711-795 M)
Lahir dengan nama Malik bin Anas bin Amir Abi Amir. Ayahnya bernama Anas bin Malik berasal dari Kabilah Ashbah daerah Yaman. Imam Malik dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Beliau dilahirkan dalam rumah tangga ilmu yang tekun mempelajari hadis. Pada saat itu, Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan dan menjadi pusat negara Islam di masa Abu Bakar, Umar, dan Ustman.
Dasar Fiqh Beliau:
1.      Al Quran sebagai sumber hukum yang pertama dan berada di atas yang lain.
2.      Al sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al Quran, karena fungsinya menjelaskan ayat ayat Al Quran.
3.      Tradisi masyarakat Madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat kota ini. Oleh sebab itu, tradisi tersebut bisa juga sebagai kesepakatan (ijma’) masyarakat Madinah.
4.      Ijma’ seluruh ahli hukum Islam dan ahli lainnya yang berkaitan dengan masalah umat.
5.      Fatwa Sahabat dipandang oleh Imam Malik sebagai hadist. Namun hadist seperti ini lemah, karena sahabatnya berhenti pada sahabat.
6.      Qiyas, bagi imam Malik mencangkup tiga hal. Pertama, menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alasan yang sama. Kedua, menguatkan hukum yang dikehendaki oleh kebaikan individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas. Ketiga, kebaikan umum yang ditegaskan oleh sumber hukum, namun diambil untuk menghindari kesulitan.
7.      Al Marshalahah Al Mursalah menetapkan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan Syariah.
8.      Istihsan, menurut Imam Malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum bila tidak ditemukannya jawabannya dalam sumber hukum.
9.      Saad al- Dzari’ah (menutup sarana kerusakan) adalah menutup sarana atau jalan maksiat yang menimbulkan kerusakan.[9]
3.      Imam Syafi’i (150-204 H/ 767-822 M).
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muntolib bin Abu Manaf.  Lahir di wilayah kampung Ghuzzah, Gaza, Palestina pada tahun 150 H., tepat pada malam saat meninggalnya imam Hanifah. Oleh karena itu, setelah nama Asy-Syafi’i mulai terkenal muncul ungkapan “telah tenggelam satu buntang dan muncul bintang yang lain”. Ayahnya keturunan Quraisy Bani Munthalib.
Dasar Fiqh Beliau:
1.      Al Quran sebagai sumber yang utama
2.      Al Sunah merupakan sumber hukum yang menyempurnakan dan menjelaskan al Quran, serta menetapkan hukum yang tidak dikemukakan di Al Quran.
3.      Al Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh ulama yang ada dinegeri itu. Apabila ada satu saja dari mereka yang tidak terlibat dalam proses kesepakatannya, maka ijma’ itu tidak sah.
4.      Perkataan sahabat itu harus didahulukan dari kajian akal Mujtahid, karena para sahabat itu lebih pintar, lebih taqwa dan lebih saleh.
5.      Qiyas untuk kasus kasus hukum yang belum diputuskan hukumnya secara eksplisit daam Al Quran, Al Sunnah, Ijma’, serta belum pernah di fatwakan oleh para sahabat.
6.      Istishab, yakni memperlakukan hukum ashal sebelum ada hukum baru yang merubahnya.[10]
4.      Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855 M)
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy- Syaibani Marwadzi Al- Bagdadi.
Lahir di Bagdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H. Kedua orang tuanya keturunan Arab dari Kabilah Syaiban.
Dasar Fiqh Beliau:
1.      Al Quran dan Al Sunnah lebih diutamakan oleh imam Ahmad bin Hanbal dari pada perkataan para sahabat nabi, termasuk pemahaman mereka terhadp kedua sumber hukum tersebut.
2.      Pendapat Sahabat nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat sahabat lainnya.
3.      Hadis Mursal (Perawi tingkat sahabat Nabi SAW tidak disebutkan) dijadikan sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah meninggalkannya, kerena hadis mursal tergolong hadis yang lemah.
4.      Fatwa murid sahabat Nabi SAW juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurut Imam Ahmad fatwa seorang murid sahabat Nabi wajib diikuti.
5.      Qiyas diambil dalam keadaan terpaksa, yakni semua rujukan diatas tidak menyatakan langsung tentang ketentuan ketentuan hukum atas persoalan persoalan  yang dihadapinya. Cangkupan Qiyas menurut Mazhab Hambali sangat luas, mencangkup penggalian hukum diluar sumber al Quran dan Sunnah, serta pendapat sahabat nabi dan muridnya. Jadi Istishan, mashlahah dan sebagainya termasuk dalam kelompok Qiyas.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.      Tasyri’ pada masa periode Tabi’in ini dimulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih pada periode ini berjalan sekitar 200 tahun. Fase ini dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab.
2.      Pertumbuhan hukum Islam pada masa ini telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa ini bisa disebut dengan masa keemasan bagi umat Islam
3.      Dilakukannya pembukuan terhadap Al Sunnah, Tafsir, Fiqh dan Ushul Fiqh
4.      Munculnya Imam Imam yang terkenal dan dasar fiqh dari mereka. Yaitu:
a.       Imam Hanafi
b.      Imam Maliki
c.       Imam Syafi’i
d.      Imam Hanbali
Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah ini kami masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam. 2009.  Jakarta: PT Rajagrafindo Indonesia.
Nata, Abuddin. 2003. Masail Al Fiqhiya . Jakarta Timur: Prenada Media.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press.
Subandi , Bambang dkk. 2011. Studi Hukum Islam . Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Zakiy Al-Kaaf, Abdullah. 2007. Fiqih Tujuh Mazhab. Bandung: CV Pustaka Setia.


[1] Dr. Roibin, Penetapan Hukum Islam (Malang: UIN Maliki Press. 2010),. 51
[2]  Ibid., 54
[3] Ibid., 57
[4]  Dr. H Abuddin Nata, Masail Al Fiqhiyah (Jakarta Timur: Prenada Media. 2003), 29
[5] Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Indonesia. 2009), 182
[6] Ibid., 15
[7] KH. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab (Bandung: CV Pustaka Setia. 2007), 13
[8] Bambang Subandi dkk, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011), 181
[9] Ibid., 194
[10] Ibid., 204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar