PERIODE ATBA’ AL FUQAHA
(MASA KEEMASAN)
Makalah ini disusun untuk memenuhi
Tugas Pada Mata Kuliah
”Tarikh Tasyri”
Disusun Oleh:
1. Donni Lailatul Masruroh (210214201)
2. Fahrurrozaki (210214176)
3. Farid Darmawan (210214182)
Kelas: SMG
Dosen Pengampu:
Imroatul
Munfaridah, M.S.I
PRODI MUAMALAH
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terbentuknya hukum Islam di masa Tabi’in. Di periode ini muncul
imam imam Mujtahidin. Di periode ini juga terdapat gerakan atau usaha untuk
membukukan serta menulis hukum hukum Islam, pada masa ini mengalami kemujan
yang sangat pesat. Dibukukanlah as Sunnah, fatwa fatwa dari kalangan sahabat ,
Tabi’in serta Tabi’ut Tabi’in termasuk pula berbagai komentar secara mendalam
terhadap tafsir Al Quran dan lainnya.
B.
Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1.
Agar
mahasiswa lebih mampu mengetahui periode keemasan
2.
Agar
mahasiswa memahami mengenai pembukuan terhadap sumber hukum Islam
3.
Agar
mahasiswa mengetahui pekembangan sosial pada Periode ini
4.
Agara
mahasiswa mengetahui mengenai Mazhab dan Dasar Fiqh yang dipakai setiap
Mazhabnya.
C.
Rumusan
Masalah
1.
Pengantar
2.
Perkembangan
Sosial pada Periode Keemasan
3.
Kodifikasi
atau pembukuan
4.
Mazhab
beserta Dasaf Fiqh yang dipakai
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengantar
Tasyri’ pada masa periode Tabi’in ini dimulai pada awal abad ke-2 H
dan berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih pada periode ini berjalan sekitar
200 tahun. Fase ini dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab.
Periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang undangan
umat islam. Hukum Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat, Pemerintahan Islam
kaya dengan berbagai undang undang dan hukum hukum.[1]
B.
Perkembangan
sosial pada masa ini
Pertumbuhan hukum Islam pada masa ini telah berkembang dengan
pesat, sehingga pada masa ini bisa disebut dengan masa keemasan bagi umat
Islam. Perkembanagan sosia pada masa ini antara lain ;
1.
Kekuasaan
islam telah mengalami perluasan
Pemerintahan
pada masa ini mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat, sehingga wilayah
kekuasaannya sudah meliputi berbagai macam bangsa yang beraneka ragam jenisnya,
adat istiadatnya, aneka hubungan kerjanya serta kemaslahatannya.
2.
Para
ulama mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam
Para
tabi’in pada periode ini telah mengetahui bahwa jalan perundang-undangan sudah
terbentang. Sementara kesulitan-kesulitan hukum sudh bisa diatasi dengan mudah.
Hal ini disebabkan mereka telah memperoleh sumber perundang-undangan yang
berada di tangan mereka.
Al-Qur’an
telah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat islam tertentu dan
dikalangan orang-orang awam.
3.
Umat
Islam dalam periode ini kuat sekali menjaga diri
Pengetahuan
dan kemantapan iman umat Islam pada masa ini telah semakin kuat, mereka senantiasa
mengembalikan semua persoalan persoalan yang bersifat umum dan detail kepada
ahli hukum Islam. Untuk itu para mujtahid pada masa itu menjadi tempat bertanya
dan tidak henti hentinya pada pendatang mendatangi mereka, baik dari kalangan
perorangan, para penguasa negara dan para hakim.
4.
Munculnya
imam mazhab yang ikut menegakkan ajaran Islam
Lahirnya
para tokoh dari masyarakat yang juga ikut berjuang dalam mempertahankan nilai
nilai syariat Islam. Semisal Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad Hambali.[2]
C.
Kodifikasi
1.
As-Sunnah
Sumber
perundang undangan yang kedua yaitu As Sunnah, pada permulaan periode ini
timbullah sesuatu yang menimpa dengan tiba tiba dan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perundang undangan . hal ini terjadi karena kholifah Umar Ibn
Abdul Aziz pada permulaan pemerintahan berkirim surat kepada Gurbenur Madinah
Abi Bakar Muhammad ibn Umar ibn Hazm (supaya meneliti hadist yang ada
dimadinah) dan membukukannya yang antara lain berisi seperti ini
“
Hendaknya engkau perhatikan hadist Rasulullah yang ada, lalu tulislah ia sebab
aku khawatir akan hapusnya ilmu dan hilang lenyapnya para ulama”
Dengan
ini dimulailah pembukuan nash nash sumber perundang undangan yang kedua sesudah
abad pertama Hijrah, tempat kembalinya nash tersebut masih berada dalam dada
perowi dan para penghafal As-Sunnah saja. Kemudian pembukuan hadist secara ini
diikuti kebanyakan ulama’.[3]
2.
Fiqh
Fiqh
baru muncul pada periode tabi’ tabi’in pad abad kedua Hijriyah, dengan
munculnya beberapa Mujtahid di beberapa kota, serta terbukanya pembahasan dan
perdebatan tentang hukum hukum syariah.
Pada
periode ini di Irak muncul seorang mujtahid besar yag bernama Abu Hanifah yang
merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqh, tetapi ilmu fiqh ini
belum dibukukan. Sementara itu di Madinah muncul juga mujtahid besar yang
bernama Malik yang memformulasikan Fiqh dan membukukannya.[4]
Dalam
pembukuannya mereka melakukan Gerakan Ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan
seluruh kemampuan dan pikiran untuk memahami ketentuan ketentuan hukum Islam
yang tercantum dalam ayat ayat hukum di Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad dan
merumuskan menjadi beberapa garis hukum yang mengatur segala bidang hidup dan
kehidupan manusia.[5]
3.
Ushul
Fiqh
Metode
dalam penulisan Ilmu Ushul Fiqh adalah mengeluarkan kaidah kaidah fiqh setiap
babnya, munaqhasasnya, dan penerapannya dalam furu’, baru kemudian diambil
suatu konklusi sebagai kaidah umum.[6]
D.
Mazhab
dan Dasar Fiqhnya
1.
Imam
Abu Hanifah (81- 150H/ 700-767 M)
Imam
Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 81 H dan meninggal pada tahun 150 H.
Abu Hanifah lahir dengan nama An Nu’man bin Tsabit bin Zauthi.[7]
Abu
Hanifah merupakan nama yang diberikan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat
kufah, karena ketekunannya dalam beribadah, kejujurannya, serta
kecenderungannya pada kebenaran.
Dasar
Fiqh Beliau:
a.
Al-
Quran merupakan sumber segala ketentuan syariah yang dijadikan rujukan dalam
proses analogi terhadap berbagai metode kajian hukum yang dirumuskan.
b.
Al
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al Quran yang berperan sebagai
penjelas terhadap berbagai ketentuan hukum dari Al Quran yang masih belum jelas
maksudnya.
c.
Pendapat
sahabat memperoleh posisi yang kuat, karena mereka adalah orang orang yang
membawa ajaran nabi Muhammad SAW kepada generasi sesudahnya.
d.
Qiyas
dilakukan apabila Al Quran dan Sunnah tidak menyatakan secara emplisit mengenai
ketentuan hukum bagi persoalan persoalan yang dihadapinya.
e.
Istisan
diajukan jika hasil dari Qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan
sosial dilihat dari sisi kebaikan umumnya.[8]
2.
Imam
Malik (93-179 H/ 711-795 M)
Lahir
dengan nama Malik bin Anas bin Amir Abi Amir. Ayahnya bernama Anas bin Malik
berasal dari Kabilah Ashbah daerah Yaman. Imam Malik dilahirkan di Madinah
tahun 93 H. Beliau dilahirkan dalam rumah tangga ilmu yang tekun mempelajari
hadis. Pada saat itu, Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan dan menjadi
pusat negara Islam di masa Abu Bakar, Umar, dan Ustman.
Dasar
Fiqh Beliau:
1.
Al
Quran sebagai sumber hukum yang pertama dan berada di atas yang lain.
2.
Al
sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al Quran, karena fungsinya
menjelaskan ayat ayat Al Quran.
3.
Tradisi
masyarakat Madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat
kota ini. Oleh sebab itu, tradisi tersebut bisa juga sebagai kesepakatan
(ijma’) masyarakat Madinah.
4.
Ijma’
seluruh ahli hukum Islam dan ahli lainnya yang berkaitan dengan masalah umat.
5.
Fatwa
Sahabat dipandang oleh Imam Malik sebagai hadist. Namun hadist seperti ini
lemah, karena sahabatnya berhenti pada sahabat.
6.
Qiyas,
bagi imam Malik mencangkup tiga hal. Pertama, menyamakan hukum kasus dengan
sumber hukum karena terdapat alasan yang sama. Kedua, menguatkan hukum yang
dikehendaki oleh kebaikan individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas.
Ketiga, kebaikan umum yang ditegaskan oleh sumber hukum, namun diambil untuk
menghindari kesulitan.
7.
Al
Marshalahah Al Mursalah menetapkan hukum untuk kasus hukum dengan
mempertimbangkan tujuan Syariah.
8.
Istihsan,
menurut Imam Malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum bila tidak
ditemukannya jawabannya dalam sumber hukum.
9.
Saad
al- Dzari’ah (menutup sarana kerusakan) adalah menutup sarana atau jalan
maksiat yang menimbulkan kerusakan.[9]
3.
Imam
Syafi’i (150-204 H/ 767-822 M).
Nama
lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin
Sa’ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muntolib bin Abu Manaf. Lahir di wilayah kampung Ghuzzah, Gaza,
Palestina pada tahun 150 H., tepat pada malam saat meninggalnya imam Hanifah.
Oleh karena itu, setelah nama Asy-Syafi’i mulai terkenal muncul ungkapan “telah
tenggelam satu buntang dan muncul bintang yang lain”. Ayahnya keturunan
Quraisy Bani Munthalib.
Dasar
Fiqh Beliau:
1.
Al
Quran sebagai sumber yang utama
2.
Al
Sunah merupakan sumber hukum yang menyempurnakan dan menjelaskan al Quran,
serta menetapkan hukum yang tidak dikemukakan di Al Quran.
3.
Al
Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh ulama yang ada dinegeri itu. Apabila ada
satu saja dari mereka yang tidak terlibat dalam proses kesepakatannya, maka
ijma’ itu tidak sah.
4.
Perkataan
sahabat itu harus didahulukan dari kajian akal Mujtahid, karena para sahabat
itu lebih pintar, lebih taqwa dan lebih saleh.
5.
Qiyas
untuk kasus kasus hukum yang belum diputuskan hukumnya secara eksplisit daam Al
Quran, Al Sunnah, Ijma’, serta belum pernah di fatwakan oleh para sahabat.
6.
Istishab,
yakni memperlakukan hukum ashal sebelum ada hukum baru yang merubahnya.[10]
4.
Imam
Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855 M)
Nama
lengkap beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin
Idris bin Abdullah bin Hasan Asy- Syaibani Marwadzi Al- Bagdadi.
Lahir
di Bagdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H. Kedua orang tuanya keturunan Arab
dari Kabilah Syaiban.
Dasar
Fiqh Beliau:
1.
Al
Quran dan Al Sunnah lebih diutamakan oleh imam Ahmad bin Hanbal dari pada
perkataan para sahabat nabi, termasuk pemahaman mereka terhadp kedua sumber
hukum tersebut.
2.
Pendapat
Sahabat nabi diterima oleh Imam Ahmad selama tidak terbantah oleh pendapat
sahabat lainnya.
3.
Hadis
Mursal (Perawi tingkat sahabat Nabi SAW tidak disebutkan) dijadikan sebagai
rujukan dalam penyelesaian kasus hukum, padahal Imam Syafi’i sendiri sudah
meninggalkannya, kerena hadis mursal tergolong hadis yang lemah.
4.
Fatwa
murid sahabat Nabi SAW juga diakui oleh Imam Ahmad. Menurut Imam Ahmad fatwa
seorang murid sahabat Nabi wajib diikuti.
5.
Qiyas
diambil dalam keadaan terpaksa, yakni semua rujukan diatas tidak menyatakan
langsung tentang ketentuan ketentuan hukum atas persoalan persoalan yang dihadapinya. Cangkupan Qiyas menurut
Mazhab Hambali sangat luas, mencangkup penggalian hukum diluar sumber al Quran
dan Sunnah, serta pendapat sahabat nabi dan muridnya. Jadi Istishan, mashlahah
dan sebagainya termasuk dalam kelompok Qiyas.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
Tasyri’
pada masa periode Tabi’in ini dimulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada
abad ke-4 H. Kurang lebih pada periode ini berjalan sekitar 200 tahun. Fase ini
dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab.
2.
Pertumbuhan
hukum Islam pada masa ini telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa ini
bisa disebut dengan masa keemasan bagi umat Islam
3.
Dilakukannya
pembukuan terhadap Al Sunnah, Tafsir, Fiqh dan Ushul Fiqh
4.
Munculnya
Imam Imam yang terkenal dan dasar fiqh dari mereka. Yaitu:
a.
Imam
Hanafi
b.
Imam
Maliki
c.
Imam
Syafi’i
d.
Imam
Hanbali
Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah
ini kami masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam. 2009. Jakarta: PT Rajagrafindo Indonesia.
Nata, Abuddin. 2003. Masail Al Fiqhiya . Jakarta Timur:
Prenada Media.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN Maliki
Press.
Subandi ,
Bambang dkk. 2011. Studi Hukum Islam . Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Zakiy Al-Kaaf, Abdullah.
2007. Fiqih Tujuh Mazhab. Bandung: CV Pustaka Setia.
[1] Dr. Roibin, Penetapan
Hukum Islam (Malang: UIN Maliki Press. 2010),. 51
[2] Ibid., 54
[3] Ibid., 57
[4] Dr. H Abuddin Nata, Masail Al Fiqhiyah
(Jakarta Timur: Prenada Media. 2003), 29
[5] Prof. H.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Indonesia.
2009), 182
[6] Ibid., 15
[7] KH. Abdullah
Zakiy Al-Kaaf, Fiqih Tujuh Mazhab (Bandung: CV Pustaka Setia. 2007), 13
[8] Bambang
Subandi dkk, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011),
181
[9] Ibid., 194
[10] Ibid., 204

Tidak ada komentar:
Posting Komentar