PERKAWINAN II
“Hukum Perkawinan menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan
“
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi
“Hukum Perdata”
Oleh:
1.
Deby Septiyas Jazuli 210214231
2.
Donni
Lailatul Masruroh 210214201
3.
Puspita
Damayanti 210214227
Dosen
Pengampu:
Lia
Noviana, M.HI.
PROGRAM
STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki laki dan
perempuan untuk waktu yang lama. Dua orang yang saling mengikat janji setia
untuk hidup bersama selamanya dengan tujuan membentuk keluarga yang aman dan
nyaman, serta untuk meneruskan keturunan. Tetapi dalam kenyataannya sebuah
perkawinan banyak hal yang harus dilakukan dan adapun masalah masalah yang
harus diperhatikan dalam perkawinan itu sendiri.
Dianntaranya yaitu mengenai perjanjian perkawinan, perkawinan beda agama,
perkawinan campuran, poligami serta perceraian. Sehingga dalam makalah ini
penulis memaparkan mengenai beberapa hal tadi yang terjadi sebelum atau sesudah
adanya perkawinan.
B.
Tujuan
1.
Agar mahasiswa
memahami mengenai perjanjian perkawinan
2.
Agar mahasiswa
mengetahui diperbolehkannya mengenai perkawinan beda agama
3.
Agar mahasiswa
tahu tentang perkawinan campuran
4.
Mendorong
mahasiswa lebih kritis dalam memahami poligami
5.
Agar mahasiswa
memahami mengenai perceraian dan akibat hukumnya
C.
Rumusan masalah
1.
Perjanjian
Perkawinan
2.
Perkawinan Beda
Agama
3.
Perkawinan
Campuiran
4.
Poligami
5.
Perceraian dan
Akibat Hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perjanjian
Perkawinan
Perjanjian Perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon
mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing
berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan
oleh pegawai pencatat nikah.[1]
Perjanjian
perkawinan diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perjanjian
Perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/ istri mengenai
kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.
Menurut
KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta
asal ataupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian
perkawinan.[2]
UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenal 2(dua) macam harta perkawinan, yaitu :
1.
Harta asal/
Harta bawaan
2.
Harta bersama (
Pasal 35 )
Harta
asal adalah harta yang dibawa masing- masing suami/ istri ke dalam perkawinan,
dimana pengurusnya diserahkan pada masing- masing pihak.Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama
perkawinan.
Berbeda dengan yang ada di KUHPerdata, dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap
dibedakan antara harta asal dan harta bersama.[3]
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal
suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri
memisahkan harta yang didapat masing- masing selama perkawinan.
Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa ta’lik
talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu
dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.[4]
Konsekuensi- konsekuensi hukum dari suatu perjanjian
kawin adalah sebagai berikut :
1.
Berlaku
ketentuan hukum perjanjian pada umumnya, kecuali hal- hal yang bersifat khusus
dalam perjanjian perkawinan.
2.
Mengikat kedua
belah pihak ( kedua mempelai ).
3.
Mengikat juga
pihak ketiga.
4.
Meskipun
mungkin dibuatnya sebelum perkawinan, pengikatan karena perjanjian perkawinan
tersebut mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
5.
Perjanjian
perkawinan tersebut tidak dapat diubah selama perkawian berlangsung kecuali
dengan kesepakatan kedua belah pihak dan dengan tidak merugikan pihak ketiga.[5]
B.
Perkawinan Beda
Agama
Bagaimana
dengan Perkawinan antar/ beda agama, apakah masih diizinkan oleh hukum untuk
dilakukan di Indonesia ? sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, maka semua ketentuan hukum yang mengatur tentang kebolehan
perkawinan beda agama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa dengan berlakunya Undang- Undang oni, ketentuan- ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang- Undang Hukum perdata (BW= Burgerlijk Wetboek) Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Cristen Indonesiers S.1933
No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemangde Huwelijken
S.1898 No.158), dan peraturan- peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam undang- undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Dalam
Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tersebut mengatur bahwa “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pernyataan pasal tersebutmemberi konsekuensi logis
bahwa perkawinan beda agama tidak mendapat tempat lagi dalam tatanan hukum di
Indonesia. Hukum melarang melakukan perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 Ayat (1) di atas, bahwa
perkawinan baru dinyatakan sah jika dilakukan menurut agama orang yang
melakukan perkawinan tersebut. [6]
C.
Perkawinan
Campuran
1.
Pengertian
Perkawinan Campuran
Istilah perkawinan campuran terdapat
beberapa perbedaan pengertian, diantara yang dinyatakan dalam perundangan dan
sering dinyatakan anggota masyarakat sehari- hari. Khusus di dalam perundangan
terdapat perbedaan pengertian diantara yang dinyatakan dalam “Peraturan tentang
Perkawinan Campuran” atau “Regeling Op de Gemengde Huwelijken” (RGH) KB. 29 Mei
1896 nr.23 S. 1898 nr. 158 dan yang dinyatakan dalam UU no. 1-1974 yang
sekaramh berlaku.
Di dalam RGH S.1898 nr. 158 pasal 1 dikatakan
“yang dinamakan perkawinan campuran, ialah perkawinan antara orang- orang yang
di Indonesia tunduk kepada hukum- hukum yang berlainan, yang dimaksud ialah
jika terjadi perkawinan antara orang golongan hukum Eropa dengan orang golongan
hukum pribumi,atau Timur Asing, atau sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 163 (2) ISR.[7]
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam undang- undang ini ialah perkawinan dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak kewarganegaraan Indonesia.[8]
Apabila melihat isi pasal tersebut diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di
Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut :
a.
Perkawinan itu
dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.
b.
Dilakukan di
Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.
c.
Diantara
keduanya berbeda kewarganegaraan.
d.
Salah satu
pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh : Seorang wanita Warga Negara
Indonesia kawin dengan sorang laki- laki Warga Negara Asing atau sebaliknya.[9]
2.
Syarat- syarat
Pekawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua belah pihak harus memenuhi syarat- syarat yang berlaku menurut hukum
masing- masing pihak ( Pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974).
Sahnya perkawinan harus berdasarkan
Pasal 2 UU No. 1/1974 yang menyebutkan :
1)
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan
kepercayaan itu.
2)
Tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Perkawinan
campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua- duanya beragama Islam
dicatat di Kantor Urusan Agama.[10]
3.
Akibat
Perkawinan Campuran
Menurut Pasal 58 UU No. 1/1974
akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dari suami/
istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya menurut cara- cara yang
telah ditentukan dalam Undang- Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
berlaku. [11]
Pasal 59 ayat (1)UU No. 1/1974
menyebutkan :
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai
hukum public maupun mengenai hukum perdata.
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan
belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia
mempunyai hubungan keluarga.
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006
menyatakan :
1)
Anak WNI yang
lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin
diakui sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI.
2)
Anak WNI yang
belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan
pengadilan tetap diakui sebagai WNI.
Pasa
6 ayat 1 menyatakan :
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan
Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau
sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari
perkawinan campuran terhadap suami/ istri akan kehilangan atau mendapat
kewarganegaraan.
1)
Perempuan WNI
yang kawin dengan laki- laki WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2)
Laki- laki WNI
yang kawin denga perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti
kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3)
Perempuan
(dalam ayat 1) atau laki- laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi
WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
perempuan atau laki- laki tersebut.[12]
D.
Poligami
Poligami
berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus yang artinya banyak, serta gamos
yang artinya perkawinan. Maka ketika kata ini digabungkan akan berarti suatu
perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.[13]
Poligami
adalah pernikahan antara seorang laki- laki dengan dua sampai empat orang
perempuan. Sistem perkawinan seperti ini di dalam
Islam memiliki cirri- ciri sebagai berikut :
a.
yang dapat
menikah lebih dari satu hanya pada pihak laki- laki. Oleh sebab itu perlakuan
pernikahan yang menyimpang dari cirri ini dilarang dalam Islam.
b.
jumlahnya
dibatasi, yaitu maksimal 4 orang perempuan sesuai dengan surat An- Nisa’ ayat 3.
c.
setiap poligami
harus memenuhi syarat tertentu yaitu laki- laki dapat berbuat adil kepada
istri- istrinya dalam cinta, menggauli dan nafkah.[14]\
1)
Syarat – syarat
dan alasan beristri lebih dari satu orang
a)
UU. No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2)
(2) pengadilan dapat member izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh
pihak- pihak yang bersangkutan.
b)
Pasal 4 ayat
(2)
(2) pengadilan dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini hanya member izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila :
a.
Istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b.
Istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.
Istri tidak
dapat melahirkan keturunan.[15]
2)
Pengaturan
poligami di Indonesia menurut UU. Perkawinan dan KHI
Undang- Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam menganut kebolehan poligami pada suami, walaupun
terbatas hanya sampai empat istri.
Ketentuan poligami termaktub dalam
pasal 3 dan 4 Undang- Undang Perkawinan dan BAB
IX pasal 55 s/d 59 KHI antara lain disebutkan : syarat utama beristri lebih
dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri- istri dan anak-
anaknya (pasal 55, ayat 2).
Selain syarat utama tersebut, adalagi syarat
lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun
1974, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup istri dan anak- anak mereka.
Pada pasal 59 dinyatakan :”dalam hal
istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang
bersangkutan dipersidangkan Pengadilan Agama dan terdapat penetan ini istri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pasal ini menjelaskan betapa
lemahnya posisi istri. Sebab manakala isri menolak memberikan persetujuannya,
Pengadilan Agama akan mengambil alih kedudukannya sebagai pemberi izin,
meskipun diatas tertulis istri dapat mengajukan banding.[16]
E.
Perceraian dan
Akibat Hukumnya
1.
Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan ;lahir batin antara suami dan istri yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga.
Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan baik dengan
putusan hakim atau tuntutan suami istri.[17]
Menurut UUP sesuai dengan
prinsip mempersukar terjadinya perceraian maka pasal 39 ayat (1) memuat
ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan yang
berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak sedang menurut pasal 40 ayat (1) memuat ketentuan
bahwa gugatan perceraian diajukan pada pengadilan.
Pasal 39 (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai
suami istri. Alasan alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut
penjelasan pasal 39 ayat (2) undang undang No.1 tahun 1974 dan pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 adalah:
1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar ditentukan
2.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut
turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3.
Salah satu pihak mendapat hukum penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinann berlangsung.
4.
Salah satu pihak mendapat cacat badan, atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
5.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penyakit atau
penganiayaan berat yang memnbahayakan terhadap pihak yang lain.
6.
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.[18]
Menurut
BW perceraian dapat dikarenakan karena persetujuan kedua belah pihak (pasal
208), tetapi perceraian itu selalu didahului dengan pertengkaran pertengkaran
atau perselisihan yang mendasar dalam arti bahwa diantara kedua belah pihak
sudah tidak ada kecocokan lagi.
2. Akibat hukum
a. Pemberian nafkah
Menurut pasal 225 BW, apabila pihak suami atau istri atas
kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang
cukup guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan
sejumlah uang tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain. Menurut pasal
227 BW kewajiban memberi tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya salah
satu pihak.[19]
Pasal 41 ayat (3), UU No.1 tahun 1974, Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu bagi bekas istri.
b. Kedudukan anak
Terhadap anak anak yang belum dewasa, menurut pasal 229
BW, oleh pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan
bekas istri anak anak itu harus turut. Apabila yang disehari anak itu tidak
mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut pasal 230
BW, Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh pihak lain
untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan.
Pasal 41 ayat (1) dan (2), UU No.1 tahun 1974, baik bapak
atau ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak anaknya, dimana bapak yang
bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.
Akan tetapi jika bapak dalam kenyataanya tidak dapat memikul tanggung jawab itu
maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul tanggung jswab
itu.
c. Pembagian Harta
Pasal 128 BW menentukan bahwa harta benda kesatuan harus
dibagi dua antara suami dan istri, dengan tidak mempedulikan dari pihak mana
asalnya barang barang tadi.
Pasal 36, UU No.1 tahun 1974 menentukan bahwa harta bersama suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang harta bawaan
masing masing sebagai hadiah atau warisan.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
|
Perbedaan
|
BW/KUHPerdata
|
UUP
|
|
Perjanjian Perkawinan
|
perjanjian yang
dilakukan oleh calon suami/ istri mengenai kedudukan harta setelah mereka
melangsungkan pernikahan.
|
harta kekayaan baik harta asal ataupun harta bersama suami dan
istri bersatu
|
|
Pekawinan Beda Agama
|
|
Tidak Berlaku
|
|
Perkawinan Campuran
|
|
|
|
Poligami
|
Tidak sah. Karena menganut monogami mutlak
|
Boleh dengan ketentuan yang berlaku dan
menganut monogami tidak mutlak
|
|
Perceraian
Akibat Hukum
1. Pemberian
nafkah
2. Kedudukan
Anak
3.
Pembagian Harta
|
persetujuan kedua belah pihak
pemberian tunjangan untuk kekayaan pihak lain
mampu memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak
bahwa harta benda kesatuan harus dibagi dua
antara suami dan istri
|
bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai
suami istri.
bekas suami untuk memberi biaya penghidupan
bapak yang bertanggung jawab atas semua
pemeliharaan dan pendidikan
harta bersama suami atau istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang harta bawaan masing
masing sebagai hadiah
|
DAFTAR PUSTAKA
Andasasmita, Komar.
Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia. 1983. Bandung: Alumni.
Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata. Depok : PT. Rajagrafindo Persada.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. 2003. Bogor
: Prenada Media/
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan
Indonesia. 2007. Bandung : CV. Mandar Maju.
Latif, Djamil. Aneka
Hukum Perceraian di Indonesia. 1985. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Manan, Abdul. Pokok-
pokok hukum Perdata. 2002. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
MK,, Anshary. Hukum Perkawinan di
Indonesia. 2010. Yoyakarta : PUSTAKA PELAJAR.
Mulia, Musdah. Pandangan Islam tentang Poligami. 1999. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender.
MZ, Labib. Pembelaan Umat Manusia. 1986. Surabaya :
Bentang Pelajar.
Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Subekti dan
Tijtrosudibio. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 2004. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional. 2010. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. 1991. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Syaifuddin, Muhammad, dkk.. Hukum Perceraian. 2013. Jakarta:
Sinar Grafika.
[3]Komar
Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia (Bandung: Alumni.
1983), hlm. 76
[11] Sudarso, Hukum
Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta. 2010), hlm. 146
[16] Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami
(Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999) hlm. 59
[17] Muhammad
Syaifuddin, dkk., Hukum Perceraian (Jakarta: Sinar Grafika. 2013), hlm. 20
[18] Djamil Latif, Aneka
Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985), hlm. 109
[19] Djamil Latif,
............................, hlm. 87
[20] Djamil Latif,
................. ,hlm. 115

Tidak ada komentar:
Posting Komentar