Jumat, 11 Maret 2016

PERKAWINAN II



PERKAWINAN II
“Hukum Perkawinan menurut KUHPerdata dan UU Perkawinan “
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi
 Hukum Perdata
Oleh:
1.      Deby Septiyas Jazuli                                    210214231
2.      Donni Lailatul Masruroh                             210214201
3.      Puspita Damayanti                                       210214227

Dosen Pengampu:
Lia Noviana, M.HI.
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Dua orang yang saling mengikat janji setia untuk hidup bersama selamanya dengan tujuan membentuk keluarga yang aman dan nyaman, serta untuk meneruskan keturunan. Tetapi dalam kenyataannya sebuah perkawinan banyak hal yang harus dilakukan dan adapun masalah masalah yang harus diperhatikan dalam perkawinan itu sendiri.
Dianntaranya yaitu mengenai perjanjian perkawinan, perkawinan beda agama, perkawinan campuran, poligami serta perceraian. Sehingga dalam makalah ini penulis memaparkan mengenai beberapa hal tadi yang terjadi sebelum atau sesudah adanya perkawinan.
B.     Tujuan
1.      Agar mahasiswa memahami mengenai perjanjian perkawinan
2.      Agar mahasiswa mengetahui diperbolehkannya mengenai perkawinan beda agama
3.      Agar mahasiswa tahu tentang perkawinan campuran
4.      Mendorong mahasiswa lebih kritis dalam memahami poligami
5.      Agar mahasiswa memahami mengenai perceraian dan akibat hukumnya
C.     Rumusan masalah
1.      Perjanjian Perkawinan
2.      Perkawinan Beda Agama
3.      Perkawinan Campuiran
4.      Poligami
5.      Perceraian dan Akibat Hukumnya


BAB  II
PEMBAHASAN
A.     Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.[1]
Perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/ istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.
Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal ataupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.[2]
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenal 2(dua) macam harta perkawinan, yaitu :
1.      Harta asal/ Harta bawaan
2.      Harta bersama ( Pasal 35 )
Harta asal adalah harta yang dibawa masing- masing suami/ istri ke dalam perkawinan, dimana pengurusnya diserahkan pada masing- masing pihak.Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan.
Berbeda dengan yang ada di KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama.[3]
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat masing- masing selama perkawinan.
Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa ta’lik talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.[4]
Konsekuensi- konsekuensi hukum dari suatu perjanjian kawin adalah sebagai berikut :
1.      Berlaku ketentuan hukum perjanjian pada umumnya, kecuali hal- hal yang bersifat khusus dalam perjanjian perkawinan.
2.      Mengikat kedua belah pihak ( kedua mempelai ).
3.      Mengikat juga pihak ketiga.
4.      Meskipun mungkin dibuatnya sebelum perkawinan, pengikatan karena perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
5.      Perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah selama perkawian berlangsung kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak dan dengan tidak merugikan pihak ketiga.[5]
B.     Perkawinan Beda Agama      
Bagaimana dengan Perkawinan antar/ beda agama, apakah masih diizinkan oleh hukum untuk dilakukan di Indonesia ? sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua ketentuan hukum yang mengatur tentang kebolehan perkawinan beda agama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa dengan berlakunya Undang- Undang oni, ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum perdata (BW= Burgerlijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Cristen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemangde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan- peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang- undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Perkawinan tersebut mengatur bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pernyataan pasal tersebutmemberi konsekuensi logis bahwa perkawinan beda agama tidak mendapat tempat lagi dalam tatanan hukum di Indonesia. Hukum melarang melakukan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 Ayat (1) di atas, bahwa perkawinan baru dinyatakan sah jika dilakukan menurut agama orang yang melakukan perkawinan tersebut. [6]
C.     Perkawinan Campuran
1.      Pengertian Perkawinan Campuran
Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, diantara yang dinyatakan dalam perundangan dan sering dinyatakan anggota masyarakat sehari- hari. Khusus di dalam perundangan terdapat perbedaan pengertian diantara yang dinyatakan dalam “Peraturan tentang Perkawinan Campuran” atau “Regeling Op de Gemengde Huwelijken” (RGH) KB. 29 Mei 1896 nr.23 S. 1898 nr. 158 dan yang dinyatakan dalam UU no. 1-1974 yang sekaramh berlaku.
Di dalam RGH S.1898 nr. 158 pasal 1 dikatakan “yang dinamakan perkawinan campuran, ialah perkawinan antara orang- orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum- hukum yang berlainan, yang dimaksud ialah jika terjadi perkawinan antara orang golongan hukum Eropa dengan orang golongan hukum pribumi,atau Timur Asing, atau sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 163 (2) ISR.[7]
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang- undang ini ialah perkawinan dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia.[8]
Apabila melihat isi pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut :
a.       Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.
b.      Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.
c.       Diantara keduanya berbeda kewarganegaraan.
d.      Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Contoh : Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan sorang laki- laki Warga Negara Asing atau sebaliknya.[9]
2.      Syarat- syarat Pekawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat- syarat yang berlaku menurut hukum masing- masing pihak ( Pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974).
Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. 1/1974 yang menyebutkan :
1)      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu.
2)      Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua- duanya beragama Islam dicatat di Kantor Urusan Agama.[10]
3.      Akibat Perkawinan Campuran
Menurut Pasal 58 UU No. 1/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dari suami/ istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya menurut cara- cara yang telah ditentukan dalam Undang- Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. [11]
Pasal 59 ayat (1)UU No. 1/1974 menyebutkan :
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata.
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan keluarga.
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2006 menyatakan :
1)      Anak WNI yang lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui WNI.
2)      Anak WNI yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan pengadilan tetap diakui sebagai WNI.
Pasa 6 ayat 1 menyatakan :
Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagai dimaksud dalam Pasal 4 sub c, sub d, sub h, sub I dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Seperti telah disebutkan sebelumnya akibat dari perkawinan campuran terhadap suami/ istri akan kehilangan atau mendapat kewarganegaraan.
1)      Perempuan WNI yang kawin dengan laki- laki WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
2)      Laki- laki WNI yang kawin denga perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3)      Perempuan (dalam ayat 1) atau laki- laki (dalam ayat 2) di atas jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan kepada Pejabat yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki- laki tersebut.[12]
D.     Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu apoulus yang artinya banyak, serta gamos yang artinya perkawinan. Maka ketika kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.[13]
Poligami adalah pernikahan antara seorang laki- laki dengan dua sampai empat orang perempuan. Sistem perkawinan seperti ini di dalam Islam memiliki cirri- ciri sebagai berikut :
a.       yang dapat menikah lebih dari satu hanya pada pihak laki- laki. Oleh sebab itu perlakuan pernikahan yang menyimpang dari cirri ini dilarang dalam Islam.
b.      jumlahnya dibatasi, yaitu maksimal 4 orang perempuan sesuai dengan surat An- Nisa’ ayat 3.
c.       setiap poligami harus memenuhi syarat tertentu yaitu laki- laki dapat berbuat adil kepada istri- istrinya dalam cinta, menggauli dan nafkah.[14]\
1)      Syarat – syarat dan alasan beristri lebih dari satu orang
a)      UU. No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2)
(2) pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan.
b)      Pasal 4 ayat (2)
(2) pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya member izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[15]
2)      Pengaturan poligami di Indonesia menurut UU. Perkawinan dan KHI
Undang- Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menganut kebolehan poligami pada suami, walaupun terbatas hanya sampai empat istri.
Ketentuan poligami termaktub dalam pasal 3 dan 4 Undang- Undang Perkawinan dan BAB IX pasal 55 s/d 59 KHI antara lain disebutkan : syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri- istri dan anak- anaknya (pasal 55, ayat 2).
Selain syarat utama tersebut, adalagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak- anak mereka.
Pada pasal 59 dinyatakan :”dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu,  Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangkan Pengadilan Agama dan terdapat penetan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pasal ini menjelaskan betapa lemahnya posisi istri. Sebab manakala isri menolak memberikan persetujuannya, Pengadilan Agama akan mengambil alih kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun diatas tertulis istri dapat mengajukan banding.[16]
E.     Perceraian dan Akibat Hukumnya
1.      Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan ;lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga.
Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami istri.[17]
Menurut UUP sesuai dengan prinsip mempersukar terjadinya perceraian maka pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sedang menurut pasal 40 ayat (1) memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan pada pengadilan.
Pasal 39 (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut penjelasan pasal 39 ayat (2) undang undang No.1 tahun 1974 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 adalah:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar ditentukan
2.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukum penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinann berlangsung.
4.      Salah satu pihak mendapat cacat badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
5.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penyakit atau penganiayaan berat yang memnbahayakan terhadap pihak yang lain.
6.      Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.[18]
Menurut BW perceraian dapat dikarenakan karena persetujuan kedua belah pihak (pasal 208), tetapi perceraian itu selalu didahului dengan pertengkaran pertengkaran atau perselisihan yang mendasar dalam arti bahwa diantara kedua belah pihak sudah tidak ada kecocokan lagi.
2.      Akibat hukum
a.       Pemberian nafkah
Menurut pasal 225 BW, apabila pihak suami atau istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain. Menurut pasal 227 BW kewajiban memberi tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.[19]
Pasal 41 ayat (3), UU No.1 tahun 1974, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu bagi bekas istri.
b.      Kedudukan anak
Terhadap anak anak yang belum dewasa, menurut pasal 229 BW, oleh pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak anak itu harus turut. Apabila yang disehari anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut pasal 230 BW, Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan.
Pasal 41 ayat (1) dan (2), UU No.1 tahun 1974, baik bapak atau ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak anaknya, dimana bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi jika bapak dalam kenyataanya tidak dapat memikul tanggung jawab itu maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul tanggung jswab itu.
c.       Pembagian Harta
Pasal 128 BW menentukan bahwa harta benda kesatuan harus dibagi dua antara suami dan istri, dengan tidak mempedulikan dari pihak mana asalnya barang barang tadi.
Pasal 36, UU No.1 tahun 1974 menentukan bahwa harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang harta bawaan masing masing sebagai hadiah atau warisan.[20]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perbedaan
BW/KUHPerdata
UUP
Perjanjian Perkawinan
perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/ istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.

harta kekayaan baik harta asal ataupun harta bersama suami dan istri bersatu
Pekawinan Beda Agama

Tidak Berlaku
Perkawinan Campuran


Poligami
Tidak sah. Karena menganut monogami mutlak
Boleh dengan ketentuan yang berlaku dan menganut monogami tidak mutlak
Perceraian

Akibat Hukum
1.      Pemberian nafkah
2.      Kedudukan Anak

3.      Pembagian Harta
persetujuan kedua belah pihak


pemberian tunjangan untuk  kekayaan pihak lain
mampu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bahwa harta benda kesatuan harus dibagi dua antara suami dan istri
bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.
bekas suami untuk memberi biaya penghidupan
bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan
harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang harta bawaan masing masing sebagai hadiah

DAFTAR PUSTAKA
Andasasmita, Komar. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia. 1983. Bandung: Alumni.
Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata. Depok : PT. Rajagrafindo Persada.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. 2003. Bogor : Prenada Media/
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. 2007. Bandung : CV. Mandar Maju.
Latif, Djamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. 1985. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Manan, Abdul. Pokok- pokok hukum Perdata. 2002. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
MK,, Anshary. Hukum Perkawinan di Indonesia. 2010. Yoyakarta : PUSTAKA PELAJAR.
Mulia, Musdah. Pandangan Islam tentang Poligami. 1999. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender.
MZ, Labib. Pembelaan Umat Manusia. 1986. Surabaya : Bentang Pelajar.
Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Subekti dan Tijtrosudibio. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 2004. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional. 2010. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. 1991. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Syaifuddin, Muhammad, dkk.. Hukum Perceraian. 2013. Jakarta: Sinar Grafika.




[1] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat ( Bogor : Prenada Media, 2003 ) hlm. 119
[2] Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009) hlm. 32
[3]Komar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia (Bandung: Alumni. 1983), hlm. 76
[4] Ibid., 32-33
[5] Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata ( Depok : PT. Rajagrafindo Persada, 2014) hlm. 19
[6] Anshary MK,, Hukum Perkawinan di Indonesia ( Yoyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2010) Hlm. 51-52
[7] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung : CV. Mandar Maju, 2007) hlm.12
[8] Abdul Manan, Pokok- pokok hukum Perdata (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2002) hlm. 96
[9] Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009) hlm.36
[10] Ibid., 37
[11] Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta. 2010), hlm. 146
[12] Ibid., 37-39
[13] Labib MZ, Pembelaan Umat Manusia (Surabaya : Bentang Pelajar, 1986) hlm. 15
[14] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991) hlm.60
[15] Abdul Manan, Pokok- pokok hukum Perdata (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2002) hlm. 1
[16] Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999) hlm. 59
[17] Muhammad Syaifuddin, dkk., Hukum Perceraian (Jakarta: Sinar Grafika. 2013), hlm. 20
[18] Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985), hlm. 109
[19] Djamil Latif, ............................, hlm. 87
[20] Djamil Latif, ................. ,hlm. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar