HUKUM SYAR’I
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ushul Fiqh”
Dosen Pengampu:
Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I
Oleh:
Badriatut Duza (210214194)
Citra Putri Widayati (210214192)
Donni
Lailatul Masruroh (210214201)
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
(STAIN) PONOROGO
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
mata kuliah Ushul fiqh didalamnya memuat mengenai hukum hukum yang harus di
kerjakan atau di laksanakan sebagaimana kita umat islam yang semestinya, namun
hukum hukum yang sesuai tersebut memiliki beberapa syarat dalam tiap tiap
pointnya. Dan dalam mata pelajaran ini juga menjelaskan tentang bagaimana
menjadi hakim syarat hakim dan cara yang adil hakim memutuskan suatu perkara.
B. Tujuan
Dalam
pembuatan makalah ini kami memiliki tujuan:
1. Agar
mahasiswa mengetahui lebih mendalam tentang hakim, dan segala hal yang
berhubungan dengan hakim
2. Agar
mahasiswa mengetahui mengenai hukum hukum, mahkum, azimah dan rukhshah
C. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
hakim, syarat dan cara menjatuhkan hukuman
2. Menjelaskan
mengenai Hukum syar’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakim
Telah
dijelaskan bahwa hukum syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan
ketentuan ketentuan”
Dalam
definisi itu dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian islam adalah
Allah SWT. Dia yang menciptakan manusia diatas bumi ini dan dia pula yang
menetapkan aturan aturan bagi kehidupan manusia.
Jadi
dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu satunya adalah Allah SWT.[1]
Seperti
firman Allah SWT.
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# wÎ) ¬! ÇÎÐÈ
“sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.
1. Pengertian
Hakim
menurut bahasa berarti orang yang menetapkan hukum, sedangkan menurut istilah adalah
orang yang diangkat pemerintah (penguasa) untuk menyelesaikan persengketaan
diantara pihak dan memutuskan perkara dengan hukum yang adil.
HR.
Bukhori dan Muslim
“Apabila seorang hakim berijhad
namun salah, maka ia mendapat satu pahala, apabila benar, maka mendapatkan dua
pahala”
Dengan
kata lain hakim adalah orang yang mengadili, karena itulah hakim disebut juga
dengan nama “Qodhi” yang berarti memutuskan, mengakiri dan menyelesaikan suatu
perkara. Kedudukan hakim sangat mulia selama ia berlaku adil.
2. Syarat syarat menjadi hakim
a. Beragama
Islam untuk perkara yang terkait dengan hukum Islam
b. Baligh
berakal, sehingga sudah dapat membedakan perkara yan haq dan yang bathil
c. Berlaku
adil, sehingga kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan
d. Sehat
jasmani dan rohani
e. Merdeka
bukan hamba sahaya
f. Seorang
laki laki, perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim
g. Dapat
membaca dan menulis terutama dalam bahasa arab
h. Memahami
huruf Al Quran, Al hadist, Ijma’ dan Qiyas
i.
Mampu dan
menguasai metode ijtihad, karena ia tidak boleh taqlid
3. Menjatuhkan Hukuman
Peradilan menjatuhkan
hukuman terhadap terdakwa berdasarkan berbagai hal. Orang yang terdakwa
diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhan, sementara terdakwa
mendengarkan, agar dapat menilai benar dan tidaknya tuduhan itu. Setelah itu
hakim mengecek tuduhan tuduhan itu dengan mengajukan berupa pertanyaan
pertanyaan yang dianggap penting untuk menguatkan dakwaanya. Jika perkara menunjukkan
bukti bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan,
meski dakwa menolak dakwaan tersebut.[2]
B.
Hukum
A. Hukum Takhili
Hukum
takhili adalah hukum yang mengandung tuntutan (perintah atau larangan) bagi
mukallaf. Dan hukum takhili terbagi menjadi 5 macam:
1. Al
Ijab (wajib)
Al
ijab adalah firman Allah swt yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti. Contoh: firman Allah swt yang memerintahkan kepada kita untuk
mengeluarkan zakat, yaitu:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka“.(QS. At Taubah: 103)
2. At
Tahrim (haram)
At
Tahrim adalah firman Allah swt yang menuntut untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Contoh: firman Allah swt yang
memerintahkan kepada kita untuk melarang perbuatan zina, yaitu:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk.” (QS.
Al Isro’: 32)
3. Al
Mandub (sunnah)
Al
Mandub adalah firman Allah swt yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang tidak pasti. Contoh: firman Allah swt yang menganjurkan kita untuk menulus
atau mencatat hutang yang ditangguhkan pembayarannya, yaitu:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
” Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS.
Al Baqarah: 282)
4. Al Karohah (Makruh)
Al
Karohah adalah firman Allah swt yang menuntut
meningalkan sesuatu perbuatan dengan
tuntutan yang tidak pasti. Contoh: firman Allah swt yang melarang bertanya
sesuatu yang pada akhirnya memberatkan dirinya, yaitu:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 ö
Nä.÷sÝ¡n@ ÇÊÉÊÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu” (QS.
Al Maidah: 101)
5. Al
Ibahah (Mubah)
Al
Ibahah adalah firman Allah SWT terhadap perbuatan untuk memilih antara
perbuatan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Contoh: firman
Allah swt yang memperbolehkan meminang wanita dengan sindiran, yaitu:
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷
“Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.”
(QS. Al Baqarah: 235)
B. Hukum Wadhi
Hukum
Wadhi adalah firman Allah swt yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang
lain (musabbab) atau sebagai syarat yang lain (masyut) atau sebagai penghalang
(mani’) adanya yang lain atau menjadi sahnya sesuatu atau batalnya sesuatu.
Hukum wadhi dibagi menjadi:
1. Sebab
Sebab
adalah oleh syara’ dijadikan tanda atas sesuatu yang lain, yang menjadi
akibatnya, dan menghubungkan adanya akibat lantaran adanya sebab. Dan tidak
adanya akibat lantaran tidak adanya sebab. Contoh firman Allah swt:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr
öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ÇÏÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki” (QS.
Al Maidah: 6).
Dalam
firman Allah diatas menerangkan adanya kehendak sholat sebagai sebab akibatnya
kita harus berwudhu dahulu.
2. Syarat
Syarat
adalah yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada tidaknya sesuatu itu. Al
Syathibi mendefinisikan syarat sebagai sesuatu yang menjadi sifat yang
menyempurnakan sesuatu yang diisyaratkan (masyruth) dalam hal yang menjadi
implikasinya atau yang menjadi implikasi hukum.[3] Contoh: firman Allah swt.
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y
“mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS.
Al Imran: 97)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa kesanggupan dan kemampuan menempuh perjalanan ke
Baitullah merupakan syarat bagi ibadah haji
3. Al
Mani’ (penghalang)
Dalah
sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum atau membatalkan sebab.
Contoh dalam HR. An Nasa’i
“Yang membunuh tidak bisa
memawarisi sesuatu dari yang dibunuhnya”
Maksud
hadist tersebut adalah bahwa adanya yang menerangkan bahwa adanya pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris itu menjadikan ia terhalang menerima harta
warisan.
4. Shohih
Yaitu
sesuatu yang dipandang sah menurut syara’ kalau sesuatu itu dikerjakan sesuai
dengan yang diperintahkan. Contoh: sholat dipandang sah jika dikerjakan dengan
melengkapi semua syarat dan rukun yang berhubungan dengan sholat.
5. Fasid
Adalah
sesuatu yang rusak/batal artinya syara’ menganggap rusak atau batal suatu
perbuatan kalau dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan. Contoh:
jual beli dianggap batal apabila tidak melengkapi syarat syarat dan rukun rukun
yang menjadi sahnya jual beli.
C.
Makhum
A. Makhum Fihi
Makhum
fihi adalah setiap perbuatan/ pekerjaan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
syar’i yakni hukum hukum yang menyangkut tindakan tidakan manusia dari yang
mengatur mereka secara langsung. Hukum fihi di bagi menjadi:
1. Wajib
(ijab)
Seperti
firman Allah swt:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä.
n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
(QS. Al Baqarah: 183)
Maksud
ayat diatas adalah menjelaskan hukum kewajiban yang berhubungan dengan
perbuatan mukkalaf yaitu melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, maka firman ini
puasa Ramadhan itu wajib.
2. Sunnah
(Nadb)
Seperti
firmna Allah swt:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Maksud
dari ayat diatas adalah menjelaskan hukum sunnah (Nadb) yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yaitu mencatat piutanng, maka firman ini mencatat piutang
adalah sunnah.
3.
Haram (Tahrim)
Seperti
firman Allah swt:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isro’: 32)
Maksud
dari ayat di atas adalah menjelaskan hukum haram (tahrim) yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf yaitu berbuat zina, maka pada khitab (firman) ini
berbuat zina adalah haram.
4. Makruh
(Karohah)
Seperti
firman Allah swt:
wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 ÇËÏÐÈ
“Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya”. (QS. Al Baqarah: 267)
Maksud
dari ayat diatas menjelaskan tentang hukum makruh yang berhubungandengan
perbuatan mukallaf yaitu infaq, yakni menyedekahkan dari harta yang rusak atau
buruk, maka firman Allah ini perbuatan infaq adalah makruh.
5. Mubah
(ibahah)
Seperti
firman Allah swt:
4 `yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 4 ÇÊÑÍÈ
“Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Maksud
dari ayat tersebut menjelaskan mengenai hukum mubah (ibahah) yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf yaitu yang berhubungan dengan puasanya orang yang
sakit dan berpergian, maka khitob (firman) ini puasanya orang yang sakit dan
berpergian itu diperbolehkan untuk berbuka.
Syarat
Syarat Makhum fihi:
1. Perbuatan
tersebut diketahui oleh mukallaf sehingga mereka dapat melakukan sesuai dengan
apa yang mereka tuntut.
2. Harus
diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk
mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib di patuhi oleh mukallaf.
3. Perbuatan
yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.[4]
B. Mahkum Alaih
Makhum
Alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Kata
lain makhum alaih dalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat
berlakunya hukum Allah.
Dinamakan
Mukallaf sebagai makhum Alaih adalah karena dialah yang dikenai hukum syara’.
Ringkasnya yang dinamakan mahkum alaih adalah orang atau si mukallaf itu
sendiri. Sedangkan perbuatannya disebut makhum fihi.[5]
Adalah
seseorang mukallaf yang dibebani hukum. Seseorang yang dibeban hukum (taklif)
dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Sanggup
memahami khithob-khithob pembenaran yakni sanggup memahami khithob khithob
taklif itu hanya terletak pada akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli
pikir untuk dipahaminya dan akal itu pula yang mendorong manusia berkehendak
untuk mematuhinya.
2. Mempunyai
kemampuan menerima beban, hal ini ada dua macam:
a. Ahliyah
Al Wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
Yaitu kepantasan
seseorang untuk diberi hak dan diberi kewajiban, kepantasan ini ada pada diri
semua selama masih hidup.
b. Kedua
Ahliyah Al Ada’ (kemampuan berbuat)
Kepantasan seseorang
untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, misalnya bila seseorang
mengadakan suatu perjanjian, maka tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan
akibat hukum, begitu juga dengann puasa dll itu dianggap sah dan telah
menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.[6]
C. Makhum Bihi
Adalah
yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan
hukum yang lima, yaitu:
1. Wajib
adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan mendapat siksa.
Wajib ‘ain: yang wajib
dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti sholat lima waktu
Wajib kifayah: adalah
wajib yang dikerjakan oleh semua mukallaf, tapi jika ada satu diantara mereka
yang mengerjakan, lepaslah kewajiban itu dari yang lain, seperti menyalati
jenazah dan menguburkannya.
2. Mandub
adalah suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan
tidak mendapatkan siksa.
Sunnah ‘ain: setiap
orang dianjurkan mengerjakannya. Seperti puasa sunah
Sunnah kifayah: suatu
pekerjaan apabila dikerjakan oleh seeorang maka yang lain tidak perlu lagi
mengerjakan. Contoh: menjawab salam
3. Haram
adalah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat
pahala
4. Makruh
adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa dan apabila tidak
dikerjakan mendapat pahala
5. Mubah
adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat pahala[7]
D.
‘Azimah
dan Rukhshah
Hukum,
apabila dilihat dari segi berat atau ringannya, terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Azimah
Adalah hukum syara’
yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh makallaf dan dalam semua keadaan
dan waktu.
Contoh: shalat fardhu 5
waktu sehari semalam
b. Rukhshah
Adalah peraturan
tambahan yang dijalankan berhubungan dengan hal hal yang memberatkan sebagai pengecualian
dari hukum hukum yang pokok.
Contoh: boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadhan bagi orang musafir[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Hakim
adalah orang yang diangkat pemerintah (penguasa) untuk menyelesaikan
persengketaan diantara pihak dan memutuskan perkara dengan hukum yang adil.
2. Dalam
menjadi hakim harus memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan dan dalam
memutuskan suatu perkara hakim juga harus adil
3. Hukum
syar’i dibagi menjadi hukum taklifi, hukum wadhi, makhum fihi, makhum alaih dan
makhum bihi, ‘azimah dan rukhshah
Kritik
dan Saran:
Dalam penulisan makalah ini kami masih jauh dari sempurna, sehingga
Dalam penulisan makalah ini kami masih jauh dari sempurna, sehingga
kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Jamil, Ahmad. 2008. Fiqih
Kelas VIII semester Ganjil. Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.
Jamil, Ahmad. 2008. Fiqih Kelas VIII semester Genap. Gresik:CV.
Putra Kembar Jaya.
Koto, Alaidin. 2011. Ilmu Fiqh dan Usul Fiqh. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007. Ushul Fikih. Jakarta:Pustaka Amani.
Rifa’i, Mohammad.1973. Ushul fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2009), hlm. 412
[2] Ahmad Jamil, Fiqih Kelas VIII semester Ganjil
(Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.2008), hlm. 44
[3] Syaikh Muhammad Al-Khudhari
Biek, Ushul Fikih (Jakarta:Pustaka
Amani.2007), hlm.119
[4] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Usul Fiqh (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.2011), hlm. 156
[5] Ibid., hlm. 157
[6] Ahmad Jamil, Fiqih Kelas VIII semester Genap
(Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.2008), hlm. 3
[7] Moh. Rifa’i, Ushul fiqih (Bandung:PT Alma’arif.1973), hlm.20
[8] Ibid., hlm.15

Tidak ada komentar:
Posting Komentar