Jumat, 11 Maret 2016

Hukum Syar'i



HUKUM SYAR’I
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ushul Fiqh”



Dosen Pengampu:
Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I

Oleh:
Badriatut Duza (210214194)
Citra Putri Widayati (210214192)
Donni Lailatul Masruroh (210214201)


JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
(STAIN) PONOROGO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam mata kuliah Ushul fiqh didalamnya memuat mengenai hukum hukum yang harus di kerjakan atau di laksanakan sebagaimana kita umat islam yang semestinya, namun hukum hukum yang sesuai tersebut memiliki beberapa syarat dalam tiap tiap pointnya. Dan dalam mata pelajaran ini juga menjelaskan tentang bagaimana menjadi hakim syarat hakim dan cara yang adil hakim memutuskan suatu perkara.
B.     Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini kami memiliki tujuan:
1.      Agar mahasiswa mengetahui lebih mendalam tentang hakim, dan segala hal yang berhubungan dengan hakim
2.      Agar mahasiswa mengetahui mengenai hukum hukum, mahkum, azimah dan rukhshah
C.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian hakim, syarat dan cara menjatuhkan hukuman
2.      Menjelaskan mengenai Hukum syar’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakim
Telah dijelaskan bahwa hukum syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan ketentuan”
Dalam definisi itu dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia yang menciptakan manusia diatas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan aturan bagi kehidupan manusia.
Jadi dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu satunya adalah Allah SWT.[1]
Seperti firman Allah SWT.
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ÇÎÐÈ  
“sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.
1.      Pengertian
Hakim menurut bahasa berarti orang yang menetapkan hukum, sedangkan menurut istilah adalah orang yang diangkat pemerintah (penguasa) untuk menyelesaikan persengketaan diantara pihak dan memutuskan perkara dengan hukum yang adil.
HR. Bukhori dan Muslim
“Apabila seorang hakim berijhad namun salah, maka ia mendapat satu pahala, apabila benar, maka mendapatkan dua pahala”
Dengan kata lain hakim adalah orang yang mengadili, karena itulah hakim disebut juga dengan nama “Qodhi” yang berarti memutuskan, mengakiri dan menyelesaikan suatu perkara. Kedudukan hakim sangat mulia selama ia berlaku adil.
2.      Syarat syarat menjadi hakim
a.       Beragama Islam untuk perkara yang terkait dengan hukum Islam
b.      Baligh berakal, sehingga sudah dapat membedakan perkara yan haq dan yang bathil
c.       Berlaku adil, sehingga kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan
d.      Sehat jasmani dan rohani
e.       Merdeka bukan hamba sahaya
f.       Seorang laki laki, perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim
g.      Dapat membaca dan menulis terutama dalam bahasa arab
h.      Memahami huruf Al Quran, Al hadist, Ijma’ dan Qiyas
i.        Mampu dan menguasai metode ijtihad, karena ia tidak boleh taqlid
3.      Menjatuhkan Hukuman
Peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan berbagai hal. Orang yang terdakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhan, sementara terdakwa mendengarkan, agar dapat menilai benar dan tidaknya tuduhan itu. Setelah itu hakim mengecek tuduhan tuduhan itu dengan mengajukan berupa pertanyaan pertanyaan yang dianggap penting untuk menguatkan dakwaanya. Jika perkara menunjukkan bukti bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan, meski dakwa menolak dakwaan tersebut.[2]
B.     Hukum
A.    Hukum Takhili
Hukum takhili adalah hukum yang mengandung tuntutan (perintah atau larangan) bagi mukallaf. Dan hukum takhili terbagi menjadi 5 macam:
1.      Al Ijab (wajib)
Al ijab adalah firman Allah swt yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Contoh: firman Allah swt yang memerintahkan kepada kita untuk mengeluarkan zakat, yaitu:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka“.(QS. At Taubah: 103)
2.      At Tahrim (haram)
At Tahrim adalah firman Allah swt yang menuntut untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Contoh: firman Allah swt yang memerintahkan kepada kita untuk melarang perbuatan zina, yaitu:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ 
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)


3.      Al Mandub (sunnah)
Al Mandub adalah firman Allah swt yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. Contoh: firman Allah swt yang menganjurkan kita untuk menulus atau mencatat hutang yang ditangguhkan pembayarannya, yaitu:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al Baqarah: 282)
4.      Al Karohah (Makruh)
Al Karohah adalah firman Allah swt yang menuntut meningalkan  sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. Contoh: firman Allah swt yang melarang bertanya sesuatu yang pada akhirnya memberatkan dirinya, yaitu:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 ö Nä.÷sÝ¡n@ ÇÊÉÊÈ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu” (QS. Al Maidah: 101)
5.      Al Ibahah (Mubah)
Al Ibahah adalah firman Allah SWT terhadap perbuatan untuk memilih antara perbuatan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Contoh: firman Allah swt yang memperbolehkan meminang wanita dengan sindiran, yaitu:
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (QS. Al Baqarah: 235)

B.     Hukum Wadhi
Hukum Wadhi adalah firman Allah swt yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab) atau sebagai syarat yang lain (masyut) atau sebagai penghalang (mani’) adanya yang lain atau menjadi sahnya sesuatu atau batalnya sesuatu. Hukum wadhi dibagi menjadi:
1.      Sebab
Sebab adalah oleh syara’ dijadikan tanda atas sesuatu yang lain, yang menjadi akibatnya, dan menghubungkan adanya akibat lantaran adanya sebab. Dan tidak adanya akibat lantaran tidak adanya sebab. Contoh firman Allah swt:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr
öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 ÇÏÈ  

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).
Dalam firman Allah diatas menerangkan adanya kehendak sholat sebagai sebab akibatnya kita harus berwudhu dahulu.
2.      Syarat
Syarat adalah yang ada atau tidak adanya hukum tergantung ada tidaknya sesuatu itu. Al Syathibi mendefinisikan syarat sebagai sesuatu yang menjadi sifat yang menyempurnakan sesuatu yang diisyaratkan (masyruth) dalam hal yang menjadi implikasinya atau yang menjadi implikasi hukum.[3]  Contoh: firman Allah swt.
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Al Imran: 97)
Ayat diatas menjelaskan bahwa kesanggupan dan kemampuan menempuh perjalanan ke Baitullah merupakan syarat bagi ibadah haji
3.      Al Mani’ (penghalang)
Dalah sesuatu yang dengan wujudnya dapat meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Contoh dalam HR. An Nasa’i
“Yang membunuh tidak bisa memawarisi sesuatu dari yang dibunuhnya”
Maksud hadist tersebut adalah bahwa adanya yang menerangkan bahwa adanya pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris itu menjadikan ia terhalang menerima harta warisan.
4.      Shohih
Yaitu sesuatu yang dipandang sah menurut syara’ kalau sesuatu itu dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan. Contoh: sholat dipandang sah jika dikerjakan dengan melengkapi semua syarat dan rukun yang berhubungan dengan sholat.
5.      Fasid
Adalah sesuatu yang rusak/batal artinya syara’ menganggap rusak atau batal suatu perbuatan kalau dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan. Contoh: jual beli dianggap batal apabila tidak melengkapi syarat syarat dan rukun rukun yang menjadi sahnya jual beli.

C.    Makhum
A.    Makhum Fihi
Makhum fihi adalah setiap perbuatan/ pekerjaan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar’i yakni hukum hukum yang menyangkut tindakan tidakan manusia dari yang mengatur mereka secara langsung. Hukum fihi di bagi menjadi:
1.      Wajib (ijab)
Seperti firman Allah swt:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä.
n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah: 183)
Maksud ayat diatas adalah menjelaskan hukum kewajiban yang berhubungan dengan perbuatan mukkalaf yaitu melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, maka firman ini puasa Ramadhan itu wajib.
2.      Sunnah (Nadb)
Seperti firmna Allah swt:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Maksud dari ayat diatas adalah menjelaskan hukum sunnah (Nadb) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu mencatat piutanng, maka firman ini mencatat piutang adalah sunnah.
3.      Haram (Tahrim)
Seperti firman Allah swt:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isro’: 32)
Maksud dari ayat di atas adalah menjelaskan hukum haram (tahrim) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu berbuat zina, maka pada khitab (firman) ini berbuat zina adalah haram.
4.      Makruh (Karohah)
Seperti firman Allah swt:
Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 ÇËÏÐÈ  
“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya”. (QS. Al Baqarah: 267)
Maksud dari ayat diatas menjelaskan tentang hukum makruh yang berhubungandengan perbuatan mukallaf yaitu infaq, yakni menyedekahkan dari harta yang rusak atau buruk, maka firman Allah ini perbuatan infaq adalah makruh.
5.      Mubah (ibahah)
Seperti firman Allah swt:
4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4 ÇÊÑÍÈ  
“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Maksud dari ayat tersebut menjelaskan mengenai hukum mubah (ibahah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yaitu yang berhubungan dengan puasanya orang yang sakit dan berpergian, maka khitob (firman) ini puasanya orang yang sakit dan berpergian itu diperbolehkan untuk berbuka.
Syarat Syarat Makhum fihi:
1.      Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf sehingga mereka dapat melakukan sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
2.      Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib di patuhi oleh mukallaf.
3.      Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.[4]
B.     Mahkum Alaih
Makhum Alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Kata lain makhum alaih dalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah.
Dinamakan Mukallaf sebagai makhum Alaih adalah karena dialah yang dikenai hukum syara’. Ringkasnya yang dinamakan mahkum alaih adalah orang atau si mukallaf itu sendiri. Sedangkan perbuatannya disebut makhum fihi.[5]
Adalah seseorang mukallaf yang dibebani hukum. Seseorang yang dibeban hukum (taklif) dibedakan menjadi 2, yaitu:
1.      Sanggup memahami khithob-khithob pembenaran yakni sanggup memahami khithob khithob taklif itu hanya terletak pada akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli pikir untuk dipahaminya dan akal itu pula yang mendorong manusia berkehendak untuk mematuhinya.
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban, hal ini ada dua macam:
a.       Ahliyah Al Wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
Yaitu kepantasan seseorang untuk diberi hak dan diberi kewajiban, kepantasan ini ada pada diri semua selama masih hidup.
b.      Kedua Ahliyah Al Ada’ (kemampuan berbuat)
Kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya, misalnya bila seseorang mengadakan suatu perjanjian, maka tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum, begitu juga dengann puasa dll itu dianggap sah dan telah menunaikan kewajibannya yang dapat menggugurkan tanggungan.[6]
C.     Makhum Bihi
Adalah yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hukum yang lima, yaitu:
1.      Wajib adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa.
Wajib ‘ain: yang wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti sholat lima waktu
Wajib kifayah: adalah wajib yang dikerjakan oleh semua mukallaf, tapi jika ada satu diantara mereka yang mengerjakan, lepaslah kewajiban itu dari yang lain, seperti menyalati jenazah dan menguburkannya.
2.      Mandub adalah suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan siksa.
Sunnah ‘ain: setiap orang dianjurkan mengerjakannya. Seperti puasa sunah
Sunnah kifayah: suatu pekerjaan apabila dikerjakan oleh seeorang maka yang lain tidak perlu lagi mengerjakan. Contoh: menjawab salam
3.      Haram adalah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala
4.      Makruh adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa dan apabila tidak dikerjakan mendapat pahala
5.      Mubah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa dan apabila ditinggalkan tidak mendapat pahala[7]
D.    ‘Azimah dan Rukhshah
Hukum, apabila dilihat dari segi berat atau ringannya, terbagi menjadi 2, yaitu:
a.       Azimah
Adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh makallaf dan dalam semua keadaan dan waktu.
Contoh: shalat fardhu 5 waktu sehari semalam
b.      Rukhshah
Adalah peraturan tambahan yang dijalankan berhubungan dengan hal hal yang memberatkan sebagai pengecualian dari hukum hukum yang pokok.
Contoh: boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi orang musafir[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.      Hakim adalah orang yang diangkat pemerintah (penguasa) untuk menyelesaikan persengketaan diantara pihak dan memutuskan perkara dengan hukum yang adil.
2.      Dalam menjadi hakim harus memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan dan dalam memutuskan suatu perkara hakim juga harus adil
3.      Hukum syar’i dibagi menjadi hukum taklifi, hukum wadhi, makhum fihi, makhum alaih dan makhum bihi, ‘azimah dan rukhshah

Kritik dan Saran:
Dalam penulisan makalah ini kami masih jauh dari sempurna, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Jamil, Ahmad. 2008.  Fiqih Kelas VIII semester Ganjil. Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.
Jamil, Ahmad. 2008. Fiqih Kelas VIII semester Genap. Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.
Koto, Alaidin. 2011. Ilmu Fiqh dan Usul Fiqh. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Muhammad Al-Khudhari Biek, Syaikh.2007. Ushul Fikih. Jakarta:Pustaka Amani.
Rifa’i, Mohammad.1973. Ushul fiqih. Bandung: PT  Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009), hlm. 412
[2] Ahmad Jamil, Fiqih Kelas VIII semester Ganjil (Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.2008), hlm. 44
[3] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih (Jakarta:Pustaka Amani.2007), hlm.119
[4] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Usul Fiqh (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.2011), hlm. 156
[5] Ibid., hlm. 157
[6] Ahmad Jamil, Fiqih Kelas VIII semester Genap (Gresik:CV. Putra Kembar Jaya.2008), hlm. 3
[7] Moh. Rifa’i, Ushul fiqih (Bandung:PT  Alma’arif.1973), hlm.20
[8] Ibid., hlm.15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar