Jumat, 11 Maret 2016

KONSEP RAHN DALAM ISLAM



KONSEP RAHN DALAM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Fiqh Muamalah Klasik”

Dosen Pengampu:
Ririn Tri Puspita Ningrum, M.SI

Disusun Oleh :
Donni Lailatul M.             210214201
Ita Krisnawati                   210214197


PROGAM STUDI  MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam syariat bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syariah tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syariat yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain itu, keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala.
Maka dari itu, dalam Islam diberlakukan syariat gadai (Rahn). Adapun seluk beluk mengenai Rahn akan dibahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Rahn?
2.      Apakah dasar hukum dari Rahn?
3.      Bagaimana syarat dan rukun pelaksanaan Rahn?
4.      Bagaimana pengambilan manfaat barang gadaian?
5.      Bagaimana resiko kerusakan barang gadai?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Rahn
2.      Untuk mengetahui dasar hukum Rahn
3.      Untuk mengetahui syarat dan rukun Rahn
4.      Untuk mengetahui pengambilan manfaat barang gadai
5.      Untuk mengetahui resiko kerusakan barang gadai


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Rahn
Pengertian rahn menurut bahasa adalah ats-tsubut atau ad-dawam, yang berarti tetap, kekal dan menggadaikan. Ada pula yang mengartikan makna rahn adalah terkurung atau terjerat.
Adapun secara istilah ada beberapa pengertian rahn yaitu:
1.      Pengertian rahn menurut Wahbah az-Zuhaili adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan untuk mengambil manfaat darinya.
2.      Pengertian rahn menurut Sayyid Sabiq adalah menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama masih ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3.      Pengertian rahn menurut Taqiyuddin adalah menjadikan harta sebagai jaminan.
Secara umum rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai (menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.
Sebagai contoh seseorang menyerahkan sebidang tanah atau hewan sebagai agunan (jaminan) yang diletakkan dibawah kekuasaan yang berpiutang sampai dia dapat membayar hutangnya. Karena proses seperti ini dalam konteks fiqh muamalah perbuatan tersebut disebut rahn. Sedangkan orang yang mempunyai barang (yang berhutang) disebut rahin dan pihak yang mengambil barang agunan (yang berpiutang) disebut murtahin.[1]


B.     Dasar Hukum Rahn
Dasar hukum rahn adalah:
1.      Al-Qur’an
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4   . . . . .   
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
(QS Al-Baqarah 282)
 bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS Al-Baqarah 283) [2]

2.      As Sunah
Sedangkan dalam sunah Rasulullah SAW dapat dikemukakan dalam ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a berkata:
“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.”


Hadits lain yang juga dikemukakan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila ada ternak yang digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan-nya). [3]
Hadits dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“barang yang digadaikan itu tidak boleh tertutup dari pemiliknya yang menggadaikannya, sehingga ia mendapat keuntungan dan menanggung kerugiannya.”
3.      Ijma Ulama
Para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun yang menyalahinya. [4]

C.    Syarat dan Rukun Rahn
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan syarat sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1.      Ijab Qobul (sighat)
Sighat dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.      Orang yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penerima gadai) adalah bahwa kedua-duanya harus:
a.       Telah dewasa
b.      Berakal sehat
c.       Atas keinginan sendiri secara bebas
3.      Adanya barang yang digadaikan (borg/marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a.       Dapat diserah terimakan
b.      Bermanfaat
c.       Milik rahin (yang yang menggadaikannya)
d.      Jelas
e.       Tidak bersatu dengan harta lain
f.       Dikuasai oleh rahin
g.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
h.      Barang yang dapat diperjual belikan
4.      Marhun bih (hutang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat hutang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a.       Berupa hutang yang dapat dimanfaatkan
b.      Hutang harus lazim pada waktu akad
c.       Hutang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.[5]

D.    Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Borg)
Ulama sepakat mengatakan bahwa barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta. Akan tetapi dalam pemanfaatannya terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, yaitu:
1.      Pemanfaatan rahin atas borg
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa borg harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya.
b.      Ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan borg, akad menjadi batal.
c.       Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan borg. Jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin. Akan tetapi, jika menyebabkan borg berkurang maka rahin harus meminta izin kepada murtahin.
2.       Pemanfaatan murtahin atas borg
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah ada yang membolehkan untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkan sekalipun ada izin, bahkan mengkategorikannya sebagai riba.
b.      Ulama Malikiyah dan ulama Syafiiyah membolehkan murtahin memanfaaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan borg tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya dengan jelas.
c.       Ulama Hanabilah berpendapa jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin rahin.[6]

E.     Resiko Kerusakan Marhun (Borg)
Menurut Syafi’I, bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Pada dasarnya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, jika tidak, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Sedangkan menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak. [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:

1.      Secara umum rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai (menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.
2.      Dasar hukum rahn adalah QS Al-Baqarah ayat 282 dan 283, Hadits Rasul serta ijma para ulama.
3.      Syarat dan rukun rahn adalah
a.      Ijab Qobul (sighat). Sighat dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.
b.      Orang yang bertransaksi (aqid). Rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penerima gadai) harus: telah dewasa, berakal sehat, atas keinginan sendiri secara bebas
c.       Barang yang digadaikan (borg/marhun) harus: dapat diserah terimakan, bermanfaat, milik rahin (yang yang menggadaikannya), jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh rahin, harta yang tetap atau dapat dipindahkan, barang yang dapat diperjual belikan.
d.      Marhun bih (hutang). Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat hutang yang dapat dijadikan gadai adalah: berupa hutang yang dapat dimanfaatkan, hutang harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.      Para ulama memberikan pendapat yang berbeda dalam pengambilan manfaat barang gadai oleh rahin maupun murtahin.
5.      Menurut Syafi’I, kerusakan barang gadai oleh murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin. Sedangkan menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Anggota IKAPI. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. 2010. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Huda, Qomarul.  Fiqh Muamalah. 2011. Teras: Yogyakarta.
Nawawi, Ismail. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. 2012.  Ghalia Indonesia: Bogor.
Sholikul Hadi, Muhammad. Pegadaian Syariah. 2003. Penerbit Salemba Diniyah: Jakarta.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syafe’i, Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. CV Pustaka Setia: Bandung.



[1]Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), 91-92
[2]Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Penerbit Salemba Diniyah, 2003), 40
[3]Anggota IKAPI, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 125
[4]Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 199
[5]Ibid., 125-126
[6]Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 172-174
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 109-110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar