KONSEP
RAHN DALAM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah
“Fiqh Muamalah Klasik”
Dosen Pengampu:
Ririn Tri Puspita Ningrum, M.SI
Disusun Oleh :
Donni Lailatul M. 210214201
Ita Krisnawati 210214197
PROGAM STUDI
MU’AMALAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam syariat bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu
melaksanakan syariah tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syariat
yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh
seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke
tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain itu, keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya,
cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai
kendala.
Maka
dari itu, dalam Islam diberlakukan syariat gadai (Rahn). Adapun seluk beluk
mengenai Rahn akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari Rahn?
2.
Apakah dasar hukum dari Rahn?
3.
Bagaimana syarat dan rukun pelaksanaan Rahn?
4.
Bagaimana pengambilan manfaat barang gadaian?
5.
Bagaimana resiko kerusakan barang gadai?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian Rahn
2.
Untuk mengetahui dasar hukum Rahn
3.
Untuk mengetahui syarat dan rukun Rahn
4.
Untuk mengetahui pengambilan manfaat barang gadai
5.
Untuk mengetahui resiko kerusakan barang gadai
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rahn
Pengertian rahn menurut bahasa adalah ats-tsubut atau
ad-dawam, yang berarti tetap, kekal dan menggadaikan. Ada pula yang
mengartikan makna rahn adalah terkurung atau terjerat.
Adapun secara istilah ada beberapa pengertian rahn yaitu:
1.
Pengertian rahn menurut Wahbah az-Zuhaili adalah menahan
sesuatu dengan hak yang memungkinkan untuk mengambil manfaat darinya.
2.
Pengertian rahn menurut Sayyid Sabiq adalah menjadikan suatu
benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama masih
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda
itu.
3.
Pengertian rahn menurut Taqiyuddin adalah menjadikan harta
sebagai jaminan.
Secara umum rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai
(menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan pembayaran seluruh
atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.
Sebagai contoh seseorang menyerahkan sebidang tanah atau hewan
sebagai agunan (jaminan) yang diletakkan dibawah kekuasaan yang berpiutang
sampai dia dapat membayar hutangnya. Karena proses seperti ini dalam konteks
fiqh muamalah perbuatan tersebut disebut rahn. Sedangkan orang yang
mempunyai barang (yang berhutang) disebut rahin dan pihak yang mengambil
barang agunan (yang berpiutang) disebut murtahin.[1]
B.
Dasar Hukum Rahn
Dasar
hukum rahn adalah:
1.
Al-Qur’an
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
LäêZt#ys?
AûøïyÎ/
#n<Î)
9@y_r&
wK|¡B
çnqç7çFò2$$sù
4
. . .
. .
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
(QS
Al-Baqarah 282)
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
(#rßÉfs?
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
(
÷bÎ*sù
z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
3
wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$#
4
`tBur
$ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS
Al-Baqarah 283) [2]
2.
As Sunah
Sedangkan dalam sunah Rasulullah SAW dapat dikemukakan dalam
ketentuan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a berkata:
“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
menggadaikan kepadanya baju besi beliau.”
Hadits lain yang juga dikemukakan oleh Abu Hurairah r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila ada ternak yang digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki
(oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya).
Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh
yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada
orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan-nya). [3]
Hadits dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“barang yang digadaikan itu tidak boleh tertutup dari pemiliknya
yang menggadaikannya, sehingga ia mendapat keuntungan dan menanggung
kerugiannya.”
3.
Ijma Ulama
Para
ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun yang
menyalahinya. [4]
C.
Syarat dan Rukun Rahn
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan syarat
sahnya perjanjian gadai adalah sebagai berikut:
1.
Ijab Qobul (sighat)
Sighat
dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja
didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.
Orang yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi
gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penerima gadai)
adalah bahwa kedua-duanya harus:
a.
Telah dewasa
b.
Berakal sehat
c.
Atas keinginan sendiri secara bebas
3.
Adanya barang yang digadaikan (borg/marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan
oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a.
Dapat diserah terimakan
b.
Bermanfaat
c.
Milik rahin (yang yang menggadaikannya)
d.
Jelas
e.
Tidak bersatu dengan harta lain
f.
Dikuasai oleh rahin
g.
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
h.
Barang yang dapat diperjual belikan
4.
Marhun bih
(hutang)
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat hutang yang dapat
dijadikan alas gadai adalah:
a.
Berupa hutang yang dapat dimanfaatkan
b.
Hutang harus lazim pada waktu akad
c.
Hutang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.[5]
D.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Borg)
Ulama sepakat mengatakan bahwa barang yang digadaikan tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu
termasuk menyia-nyiakan harta. Akan tetapi dalam pemanfaatannya terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama, yaitu:
1.
Pemanfaatan rahin atas borg
a.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa borg
harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya.
b.
Ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin
untuk memanfaatkan borg, akad menjadi batal.
c.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk
memanfaatkan borg. Jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak
perlu meminta izin. Akan tetapi, jika menyebabkan borg berkurang maka rahin
harus meminta izin kepada murtahin.
2.
Pemanfaatan murtahin
atas borg
a.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan borg, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh
memanfaatkannya. Sebagian ulama Hanafiyah ada yang membolehkan untuk
memanfaatkannya jika diizinkan oleh rahin, tetapi sebagian lainnya tidak
membolehkan sekalipun ada izin, bahkan mengkategorikannya sebagai riba.
b.
Ulama Malikiyah dan ulama Syafiiyah membolehkan murtahin memanfaaatkan
borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan borg
tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya
dengan jelas.
c.
Ulama Hanabilah berpendapa jika borg berupa hewan, murtahin
boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti
biaya, meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain
hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin rahin.[6]
E.
Resiko Kerusakan Marhun (Borg)
Menurut Syafi’I, bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin,
maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu
karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Pada dasarnya murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, jika tidak, ketika ada cacat atau
kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Sedangkan menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung
resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau
hilang, baik karena kelalaian maupun tidak. [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
Secara umum rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai
(menurut syara’) sebagai penguat hutang yang dapat dijadikan pembayaran seluruh
atau sebagian hutangnya dengan menjual atau memiliki benda tersebut.
2.
Dasar hukum rahn adalah QS Al-Baqarah ayat 282 dan 283,
Hadits Rasul serta ijma para ulama.
3.
Syarat dan rukun rahn adalah
a.
Ijab Qobul (sighat). Sighat dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.
b.
Orang yang bertransaksi (aqid). Rahin (pemberi gadai) dan murthahin
(penerima gadai) harus: telah dewasa, berakal sehat, atas keinginan sendiri
secara bebas
c.
Barang yang digadaikan (borg/marhun) harus: dapat
diserah terimakan, bermanfaat, milik rahin (yang yang menggadaikannya), jelas,
tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh rahin, harta yang tetap atau
dapat dipindahkan, barang yang dapat diperjual belikan.
d.
Marhun bih
(hutang). Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat hutang yang dapat
dijadikan gadai adalah: berupa hutang yang dapat dimanfaatkan, hutang harus
lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.
4.
Para ulama memberikan pendapat yang berbeda dalam pengambilan
manfaat barang gadai oleh rahin maupun murtahin.
5.
Menurut Syafi’I, kerusakan barang gadai oleh murtahin, maka
murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin. Sedangkan menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun
menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu
rusak atau hilang, baik karena kelalaian maupun tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Anggota IKAPI. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia.
2010. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Huda, Qomarul. Fiqh
Muamalah. 2011. Teras: Yogyakarta.
Nawawi,
Ismail. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. 2012. Ghalia Indonesia: Bogor.
Sholikul Hadi, Muhammad. Pegadaian Syariah. 2003. Penerbit
Salemba Diniyah: Jakarta.
Suhendi,
Hendi. Fiqh Muamalah. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Syafe’i,
Rachmat. Fiqh Muamalah. 2001. CV Pustaka Setia: Bandung.
[1]Qomarul
Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), 91-92
[2]Muhammad
Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Penerbit Salemba Diniyah,
2003), 40
[3]Anggota
IKAPI, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, ( Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010), 125
[4]Ismail
Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), 199
[5]Ibid.,
125-126
[6]Rachmat
Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 172-174
[7]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 109-110

Tidak ada komentar:
Posting Komentar